Rabu, 22 Mei 2024

Kepala Tiga Tiada Berguna


    Hari ini bukan hari yang istimewa, tapi saya merasa perlu untuk menuliskannya. Tepat pada tanggal ini usia saya bertambah, lebih tepatnya adalah masa hukuman saya di bumi ini berkurang satu tahun, sejak kelahiran saya pada tahun 1994. Batin saya berkeluh kesah;

"Sudah 30 tahun, kok ya masih begini-begini saja. Tidak ada perubahan signifikan pada tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada pencapaian yang bisa di banggakan. Hidup masih juga sendirian. Pasangan yang selalu menemani pun tidak ada. Pendapatan finansial tidak ada kemajuan. Hutang malah semakin meraja lela. Pendapatan belum bisa mengcover kebutuhan rumah, hanya mampu mengcover kebutuhan pribadi saja."

 "Belum bisa mengatur waktu. Belum bisa mengurus diri. Tabungan tidak punya. Pekerjaan pun belum benar-benar disenangi. Hidup melulu hanya ngopi sana-sini. Hingga pertanyaan saudara kapan menikah pun tidak bisa dihindari. Kok, rasanya hidup sudah tidak ada faedahnya. Hanya memenuhi jalanan jadi bikin macet saja."

"Perihal ibadah juga hanya begitu saja. Salat lima waktu sama sekali tidak bisa dijaga. Puasa wajib malah bolong seminggu lamanya. Merasa ada Tuhan, tapi hanya ingat dikala susah saja. Mau meminta dan memohon kalo sudah berada di tengah-tengah masalah. Ketika salat malah tidak berminat untuk berdoa. Selalu merasa susah, padahal usaha diri sendiri pun belum maksimal. Ingin semuanya berjalan sesuai yang di inginkan. Namun, syarat dan ketentuan tidak bisa dilakukan. Malah hanya bisa mengeluh dan meratap." 

    Ulang tahun kali ini berharap tidak ada yang ingat. Bahkan saya sendiri berkeinginan untuk tidak ingat. Ingin semuanya berjalan biasa saja dan terlewat begitu saja. Merasakannya pun saya seperti sudah kehilangan minat. Ujungnya, berimbas pada kerjaan hari ini. Saya jadi hanya menyibukkan diri tanpa benar-benar mengerjakan pekerjaan. Oleh karena itu, saya buka blog ini untuk berkeluh kesah.

    Tapi, keinginan untuk melupakan hari lahir seakan menguap. Ibuk mengirimkan pesan melalui whatsapp, pagi ini pukul 05.36. Pesan tersebut berisikan doa-doa baik perihal rejeki dan ditutup dengan doa agar bisa segera mendapatkan jodoh. Begitulah ibuk, ia adalah reminder saya tentang apa pun dan apa saja. Tentunya perihal hari lahir anak-anaknya pun ia tak akan lupa. Namun, selalu ada debat dalam diri saya ketika menyatakan hal itu. Sebab, tidak semua anak beruntung seperti saya yang memiliki ibu seperti ibu saya.

    Ingin rasanya membalas panjang pesan dari ibuk. Menyampaikan segala unek-unek, tapi yang terkirim hanya; "Nggeh, Buk. Maturnuwun."

    Lagi-lagi dihadapan Ibuk saya tidak bisa berkata-kata. Selalu menjadi yang sangat sulit diutarakan meski sejatinya ingin sekali untuk mengeluarkannya. Mungkin, baiknya saya tulis saja di sini. Biarlah orang lain yang membacanya. Meski Ibuk tidak serta merta bisa mengetahuinya juga. 

"Buk, ngapunten nggeh. Saya masih belum bisa menjadi anak yang bisa dibanggakan. Tidak ada dari perjalanan hidup saya bisa ibu ceritakan dalam obrolan bersama orang lain, pun bersama keluarga. Meski sejatinya saya tahu, banyak diantara para tetangga maupun keluarga selalu bertanya perihal bagaimana kabar saya, hingga berlanjut pada obrolan kapan saya menikah. Sejujurnya, jika pun Ibuk bertanya, dihadapanmu pun saya tidak akan bisa menjawabnya. Melainkan akan saya jawab dengan tawa dan tersenyum saja. Entah, bagaimana persoalan ini bisa begitu sulit buat saya, Buk."

"Acap kali saya berharap, ada sosok ayah. Di mana mungkin ia bisa mengarahkan saya dan berbicara serius perihal obrolan tentang laki-laki. Ingin sekali saya menanyakan semuanya. Tentang menikah, wanita, finansial, tanggung jawab dan segala hal yang bisa mengikis ketakutan dalam kepala saya sehingga membuat saya menjadi seperti ini. Saya tahu, Buk. Banyak sekali para penceramah atau motivator atau penulis kata-kata yang menyampaikan bahwa tidak perlu takut dengan menikah. Namun, tetap saja otak manusia tidak meresponnya dengan baik, malah memunculkan ketakutan perihal apa saja."

"Saya pun paham. Bertambahnya usia, sudah tentu juga setara dengan bertambahnya usiamu, Buk. Ada banyak harapanmu kepada saya perihal usia itu. Melihat semua sepupu sudah settle dengan kehidupannya, bersama para suami dan istri mereka, bersama anak-anak mereka yang kini telah memanggilmu dengan sebutan "Mbah", bersama dengan segala finansial yang dimilikinya. Selanjutnya kau melirik dan saya yang masih seperti ini adanya. Sekali lagi, maafkan saya, Buk." 

"Doa saya pada usia ini, hanya berharap agar engkau sehat selalu, Buk. Berharap agar engkau bisa terus membersamaiku sampai kelak saya menikah hingga bisa menimang cucu-cucu mu. Ingin sekali bisa melihat kerlingan matamu saat sedang mengasuh anak-anak saya. Versi kecil saya yang bisa melukiskan senyum di wajahmu kala mengingatku dulu. Terima kasih untuk semuanya, buk. Terima kasih masih bisa membersamaiku hingga pada usia ini." 

    Sudah kepala tiga, semoga perjalanan saya kedepan yang dimulai dengan angka tiga, selalu memberikan kesan baik dan manfaat terhadap orang-orang sekitar. Tidak ada harapan muluk, hanya ingin bisa membahagiakan keluarga dan membahagiakan diri sendiri. Menghindari hal-hal yang sia-sia. Memperbanyak aliran pemasukan, hingga bisa menabung dan menikah. Tidak akan mudah memang, tapi doakan saya bisa melewatinya meski sementara ini harus sendiri dulu. Satu obrolan yang pernah saya sampaikan kepada Bill kawan saya;

Saya: "Awakmu eruh, apa yang saya takutkan kala nanti sudah tiada?"
Bill: "Opo, pek?"
Saya: "Aku wedi ga enek seng ndungakne aku, Bill. Mergo aku uduk wong apik dan uduk koncone wong-wong apik. Awakmu ojok lali dungakno, aku lho."
Bill: "Iyo nek awakmu, sek. Nek aku sek, yaopo? nek awak dewe mati bareng, yaopo?"
Saya: "Cok, cangkeme. Amit2 ya allah. Ojo mati sek, aku ga siap, Su..!!!"

 

Tidak ada komentar: