Balasan surat..
Matur nuwun..
Aku bingung arep opo maneh sing kudu diomongke selain terima kasih. Barangmu sudah sampai dengan selamat. Sepasang sepatu gunung, yang jika dilihat dari tampilannya pasti mahal.
Terkadang aku bingung, barang-barang larang iki, kenopo nganti mbok tukokne gawe aku? Bahkan selama iki aku urung iso bales. Sedangkan awakmu uwes berbuat banyak gawe aku.
Lanjute, aku gawe bahasa indonesia ae yo.
Oke..
Ehem.. ehem..
Tadi aku belum lengkap menyampaikan. Sepatu pemberianmu sudah sampai, bersama dua kertas surat dan juga satu buah buku catatan harianmu. Sekali lagi terima kasih. Aku seneng, tapi ya ngerasa ga pantas buat nerima ini.
Bukumu sudah aku baca. Berat nerima buku ini, tapi aku baca sampai tamat. Selebihnya, harum parfummu (di mana aku menyukai itu) tercium saat aku buka isi paket yang tadi aku terima dari kurir ekspedisi. Sekilas, beberapa gambaran kenangan yang pernah kita lewati terlintas begitu saja. Bahkan, sampai detik aku menulis ini, bau itu masih sering terbang melintas hidung dan memenuhi ruangan tokoku. Tentunya tak mengapa, aku nyaman, sebab aku suka baunya.
Selanjutnya, izinkan aku menjawab semua tanyamu dalam goresan buku yang kau beri. Semoga kau tidak salah memahami, dan bisa menerima dengan lebih dewasa lagi atas apa nantinya yang akan aku tulis ini.
Pertama soal sepatu.
Sekali lagi terima kasih. Terima kasih banget sesuatu yang sedang aku usahakan buat beli, malah kamu seng bisa ngebelikan. Wis terlalu banyak kamu ngasih, mulai dari kiriman makanan, yang di dalamnya ada kaosnya. Lanjut ke jam tangan. Lalu ke pinjaman uang yang aku hutang buat dipinjamkan lagi ke temenku karena dia butuh. Ada juga aku pinjam uang lagi, ketika aku bingung pelunasan untuk pembayaran buku.
Belum lagi di kota kemarin, masih sempat-sempatnya ngasih kaos. Ngebayarin tiket berangkat, lalu sekarang ini, sepatu gunung. Semuanya aku catat dan aku anggap hutang budi yang kelak akan aku balas.
Sekarang soal sepatu..
Bagus, pas, keren, pengen segera pake buat naik ke gunung beneran. Hal yang paling bikin seneng, model sepatunya agak tinggi, jadi sedikit membuat tinggiku bertambah sekian senti saat memakainya.
Membeli ini itu (termasuk sepatu) memang bukan kebiasaanku, sebab aku mandangnya sebagai sesuatu yang aku tidak terlalu butuh. Dulu, kuliah saja aku masih harus pinjam. Sebab sepatu terakhirku sudah lubang.
Bisa dikatakan sepatuku selalu memiliki cerita dari kisah orang-orang hebat di baliknya. Pertama ada sepatu pantofel. Sepatu itu pemberian budhe dari gaji pensiunan pakdeku. Memang benar, lulus kuliah aku tidak memiliki sepatu. Pernah suatu ketika ayah mau membelikannya, hingga ia tiada, barang itu tak juga terbeli. Namun, bagiku, pemberian budhe sudah mewakili dari pemberian ayah.
Kedua, sepatu sport biasa. Berwarna biru, yang tentunya kau tahu karena aku kenakan kala bertemu denganmu di kota itu. Sepatu tersebut hasil iuran ibu dan adek. Mereka membelikan aku kado di ulang tahunku yang ke 25. Lalu sekarang, sepatu pemberianmu. Tentunya akan aku jaga dan bangga memakainya.
Ah terima kasih banyak. Mohon maaf belum bisa balas. Aku gagal dalam manajemen keuangan pun gagal dalam membahagiakan.
Mungkin kamu tak tahu. Kaos pertama pemberianmu, yang datang berbarengan dengan camilan dan manisan carica. Meski kebesaran, aku masih sangat suka memakainya. Lalu dua kaos yang bertuliskan kotamu, sangat pas di badan, aku pun bahagia memakainya. Lalu jam tangan, sampai tidak pernah lepas kecuali saat mandi, meski sekarang sudah jarang terpakai sebab itunya (ga tau namanya) putus. Terakhir, ada sepatu. Ah aku sangat bahagia. Terima kasih banyak.
Maaf sejauh ini aku sosok yang sangat merepotkan dan sudah menghabiskan banyak uangmu. Kamu yang sudah sebaik ini, aku malah sejahat itu dalam memperlakukanmu. Maafkan aku.
Kenangan di kotaku, saat kau kemari merupakan kesalahanku yang tidak bisa aku putar ulang. Tanpa banyak beralasan lagi, aku mengaku salah sebab tidak bisa menyambutmu dan memperlakukanmu dengan layak.
Jika masih bisa memberikan alasan. Sebetulnya aku bingung dan tidak siap harus betingkah seperti apa saat kau ada di sini. Aku kikuk, cenderung malu, akhirnya kaku dalam memperlakukanmu. Selagi bisa, tolong maafkan tindakanku kala itu. Aku meminta maaf kepadamu, sudah (bisa dikatakan) menelantarkanmu kala kamu ada di sini. Tidak bertanggung jawab untuk menyenangkanmu, malah hanya bisa membuatmu meneteskan air mata. Sekali lagi, aku mohon, tolong maafkan kebodohanku.
Mungkin kau penasaran. Apakah aku bahagia saat kau ada di sini? Jujur, aku sangat bahagia. Mungkin jika masih ada waktu dan aku boleh berharap. Aku berharap bisa menebus kesalahanku dengan menunggumu untuk singgah kembali di kotaku. Entah kapan, tapi semoga usia dapat memenuhi dan Tuhan bisa mengizinkan.
Selanjutnya kau juga bertanya. Apakah aku memikirkanmu? Jika masih boleh jujur, iya aku memikirkanmu. Bahkan sejak saat kita memutuskan untuk berhenti komunikasi dan saling menjauh.
Seringnya aku selalu teringat kamu saat sedang berkendara. Entah berangkat kerja, saat pulang kerja, atau ketika kemana saja aku berkendara. Kilasan wajahmu pada senyum yang tak bisa aku artikan selalu berhasil muncul.
Aku terbawa, hingga membuatku senyum dengan sendirinya. Bahkan juga merasa salah atas segala perilaku yang sudah aku lakukan padamu. Sangat tidak pantas aku yang sudah begitu padamu, malah terus kau balas kebaikan. Maafkan aku.
Terkait mimpimu. Benar memang, Februari ini aku mengalami sedikit perubahan atas peringatan dari Sang Kuasa. Membuatku berpikir ulang berhenti menjalankan tindakan yang tidak semestinya. Meski berat, Februari ini aku bangga bisa lebih baik dari bulan sebelumnya, atau bahkan tahun sebelumnya. Selebihnya, hanya sebab finansial yang kritis sehingga membuatku pontang panting dalam menyelesaikannya. Tapi tak apa, akan selesai juga nantinya, semoga.
Berikutnya perihal rindu. Maaf, aku tidak bisa menjawabnya. Namun, aku yakin kau tahu jawabannya.
Terakhir, rencana kita setelah lebaran iedul fitri. Insya allah aku akan tetap mengusahakan untuk singgah. Bertemu Mbokmu, menikmati masakannya, tidur di bawah atap rumahmu, pun mendaki jika mungkin aku masih mampu. Semoga kelak finansialku baik-baik saja. Meski nantinya tidak baik, aku akan tetap mengusahakan untuk ke sana.
Seperti pada lirik lagu 'Mesin Waktu' milik Budi Doremi. Kali ini aku sampaikan padamu.
Kalah, kuakui aku kalah.
Cinta ini pahit dan tak harus memiliki.
Jika aku bisa, ku akan kembali.
Ku akan merubah, takdir cinta yang ku pilih.
Meskipun tak mungkin, walaupun ku mau.
Membawa kamu lewat mesin waktu.
NB: Oh iya satu lagi. Sama sekali aku tidak melihatmu, menilaimu, menganggapmu dari batasan ijasah sekolahmu. Bahkan, bagiku kau adalah orang paling kreatif yang sudah aku temui sepanjang batas usiaku.
Tak peduli apa ijasah sekolahmu. Aku bangga bisa mengenalmu, yang kelak entah kenapa aku yakin kehebatanmu selalu di atas mereka yang bersekolah tinggi. Tidak pernah aku merasa malu ataupun rugi. Selama kita masih sama-sama manusia, jangan pernah berpikir siapa lebih rendah dan siapa lebih tinggi. Ingat perkataanku, kamu istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar