Sebenarnya
tulisan ini sudah seharusnya selesai beberapa hari yang lalu saat hari pertama
bekerja. Namun karena masih awal pertama bekerja, masih belum terbiasa sehingga
sepulang bekerja pukul 01.00 dini hari saya langsung tertidur pulas saat sampai
di kamar kos.
Sembari
mengunyah biskuit abon malkist saya memulai menuliskan awal mula, termasuk
alasan dimana saya memang sudah seharusnya untuk mencari pekerjaan di tahun
terakhir saya berkuliah. Selasa, 07 Maret 2016 sekitar pukul 18.45 WIB setelah
sholat isya lebih tepatnya saya mendapatkan pesan whatsapp masuk. Pesan tersebut dari bibi, adik dari ibu saya yang
biasa saya sapa dengan sapaan Lek Bin kepanjangan
dari Binarti nama lengkapnya.
Biasannya saat Lek Bin sms, telepon,
atau mengirim pesan whatsapp tidak pernah jauh dari bertanya kabar, sudah makan
atau belum, hingga bersambung pada sesi curhat dimana Lek Bin menceritakan kegiatan anaknya Galang yang berusia sekitar
4-5 tahun. Galang memang lumayan dekat dengan saya. Saat libur panjang kuliah
dan sedang pulang ke Madiun Galang tidak pernah lepas dengan saya, kemanapun
saya pergi Galang selalu ikut.
Kembali
ke pasan whatsapp. Hari itu berbeda dari biasanya. Tidak ada sesi curhat, namun
diganti dengan pertanyaan kapan saya akan di wisuda. Pertanyaan yang jarang
sekali terlontar dari keluarga saya. Saya pun menjelaskannya dengan panjang
lebar perihal keterlambatan perkuliahan saya sehingga berujung pada molornya
masa studi. Lek Bin lalu mengatakan
pertanyaan tersebut datang dari ibu saya, dimana sehari sebelumnya ibu ber-sms
ria dengan lek bin. Selanjutnya lek bin mengirimkan screenshoot potongan pesan dari ibu, setelah membaca
potongan-potongan pesan tersebut saya hanya bisa terdiam. Banyak fikiran
berkecamuk tak tentu arah bingung, sedih, marah, hingga berakhir dimana saya
hanya bisa menyalahkan diri saya atas segala hal. Seperti anak labil tiba-tiba
butuh rokok, kopi, tempat untuk menyendiri, pacar untuk berbagi (sayangnya saya
tidak punya), akhirnya saya mencari Yayan Si Anak Terong untuk menceritakan ke
kalutan atas fikiran saya.
Potongan
pesan tersebut berisi kebingungan tertahan dari ibu saya. Adakalanya ibu merasa
malu, sebab teman-teman sekolah dasar saya dulu sudah akan di wisuda sarjana.
Sialnya lagi ayah dari salah satu teman sd saya tersebut –yang jarak rumahnya
hanya sepelemparan batu dari rumah saya- selalu update kabar terbaru saya,
sembari mengunggul-unggulkan anaknya sehingga membuat ibu semakin malu.
Adakalanya ibu merasa kesal sebab kuliah saya yang tak kunjung usai, sehingga
membuat ibu saya terbelit hutang guna masih harus membiayai molornya kuliah
saya. Belum lagi uang SPP sekolah adek –sekarang harus bayar sebab bukan asli
warga surabaya- yang harus menunggak tiga bulan lalu uang bulanan listrik yang
masih menunggak juga.
Ibu
bingung –saya khawatir akan kesehatannya- harus bagaimana. Ibu juga khawatir
darah tinggi ayah naik jika tertekan kondisi dan banyak fikiran. Keadaan
ekonomi keluarga sekarang memang sedang mengalami banyak cobaan. Tidak lagi
terlihat tetangga rumah yang biasa mencari ikan atau pemilik tambak yang
menjual ikannya di rumah, sebab sudah banyak tambak ter-uruk tanah untuk dijadikan pabrik dan perumahan. Agar tetap
bisa berdagang ikan ayah harus kulakan di
pasar ikan dimana harga ikan sangat tinggi tidak sebanding dengan harga
penjualan. Belum lagi jika bertemu ibu-ibu yang menawar dengan harga tidak
manusiawi yang akan mencibir saat tidak berhasil menawar.
Akhirnya
ibu juga bekerja guna membantu perekonomian keluarga, begitu juga dengan adek.
Ibu bekerja di usaha rumahan pembuatan kursi –entah kursi seperti apa- yang
tidak jauh dari tempat kost ibu saat masih muda. Sedangkan adek berjualan es
lilin di sekolah walaupun tidak banyak hanya 12-15 biji. Kata ibu adek masih
dalam tahap berlatih, awalnya malu tapi pelan-pelan ibu juga memahamkan kondisi
ekonomi keluarga sehingga adek pun mau. Mendengar cerita itu mata saya
berkaca-kaca walaupun sudah menetes satu.
Bekerja Tanpa Ijazah
Pesan
whatsapp tersebut saya ceritakan pada dua teman saya, Yayan dan Nisful. Yayan
ini teman seangkatan SMA saat di pesantren, tapi kami baru akrab saat sama-sama
merantau kuliah di Jember. Sedangkan Nisful –teman dunia maya, sebab telepon
nyasar- saya tidak pernah kenal dan bertemu dengannya tapi kami sangat akrab
dan sering saling curhat.
Bekerja
menjadi pilihan terakhir untuk bisa bertahan menghadapi kondisi tersebut. Tujuannya
agar ada pemasukan tanpa mengharap kiriman orang tua, tetap bisa segera lulus
walau harus kuliah sambil bekerja dan menebus kesalahan untuk membiayai sendiri
molornya kuliah sebagai bentuk tanggung jawab. Saya tidak memilih menjadi guru
les, selain sudah pernah saya juga kurang tertarik jika harus mengajar walaupun
sebenarnya mampu. Sebelumnya saya juga sudah pernah melamar kerja. Dari tiga
surat lamaran kerja yang saya kirim, hanya satu yang berhasil lolos hingga
sampai ke tahap wawancara sebelum benar-benar diterima. Namun semangat tersebut
pupus saat tes wawancara, sebab mahasiswa yang masih berkuliah kurang begitu
dipertimbangkan untuk diterima. Alasannya karena jam kerja yang padat pasti
akan mengganggu perkuliahan. Alasan tersebut yang membuat saya gagal untuk
diterima.
Sejak
saat itu saya tida tertarik lagi untuk melamar atau hanya memasukan surat
lamaran kerja. Memang, sampai semester 10 sekarang ini saya masih juga menempuh
mata kuliah. Tujuan saya adalah untuk mendongkrak IPK yang masih belum memasuki
angka 3, padahal tinggal 6 angka lagi dibelakang koma untuk mencapai angka 3. Nasehat
teman saya kuliah sudah terlanjur molor akan rugi jadinya kalo tidak mencapai
angka 3.
Setelah
hadir pesan whatsapp saya kembali bergerilya dari satu grup info lowongan kerja
di facebook ke group yang lain, dari satu teman ke teman yang lain. Sasaran
saya pekerjaan sebagai pelayan di cafe atau restoran, menjaga kios distro, atau
menjaga warnet. Jika ada postingan info lowongan kerja di facebook langsung
saya hubungi contact person-nya,
membuat cv dan lamaran lalu kirim. Jika ada info dari teman langsung saya
datangi tempat yang dimaksud, bertanya, membuat cv dan lamaran lalu kirim.
Terus seperti itu.
Saya
membeli satu bendel amplop coklat besar yang biasa digunakan untuk melamar
pekerjaan. Pertimbangannya lebih murah membeli satu bendel dari pada jika harus
membeli per-biji, selain itu juga praktis tidak harus berkali-kali beli. Saat
itu bendelan amplop coklat sudah hampir habis, namun setelah berbulan-bulan belum
juga ada panggilan dari pihak tempat saya memasukan lamaran kerja. Ada satu
panggilan tapi saya tidak cocok dengan jam kerjanya, sebab tidak memberikan
saya waktu untuk mengerjakan skripsi.
Sampai
pada sebuah postingan di facebook dengan akun bernama Yopi yang memposting
lowongan pekerjaan sebagai pelayan di Cafe Cangkir Kita. Lokasinya tidak jauh
dari pondok tempat saya tinggal, hanya sejauh suara adzan dari pengeras suara
di masjid. Selanjutnya saya mengirim pesan pada CP yang tertera di postingan, sayangnya
hanya berbalas permohonan maaf sebab sudah ada orang yang lebih dahulu mengisi
lowongan. Namun saya akan dihubungi kembali jika orang tersebut membatalkan
untuk memasuki lowongan.
Pasrah,
sebagai jalan terakhir sembari tetap bergerilya. Setiap malam kegiatannya hanya
ngopi dari satu tempat ke tempat yang lain sambil sesekali bertanya adakah
lowongan pekerjaan. Membayangkan untuk melakukan hal nekat namun nalar masih
tetap bermain. Sampai pada suatu sore dimana saat itu sedang membantu
teman-teman yang lain untuk melatih silat. Latihan selesai, tiga panggilan tak
terjawab dengan nomor asing dan satu pesan sms muncul di layar handphone. Sms
tersebut berisi jika masih tertarik untuk bekerja agar segera datang ke Cafe
Cangkir Kita pukul 17.00 WIB untuk menemui orang yang namanya tersebut di dalam
pesan. Sialnya saat saya membuka pesan waktu sudah menunjukan pukul 17.30 WIB.
Saya mengirimkan pesan permohonan maaf dan jika masih di izinkan saya akan
datang pukul 19.00 WIB untuk menemui orang tersebut namanya di atas. Nasib baik
sedang berpihak, pesan tersebut berbalas positif.
Pukul
19.00 WIB saya datang ke cafe tersebut lalu bertemu dengan salah satu diantara
Mas Fikar, Mas Yopi, dan Mas As’ad untuk membicarakan perihal lowongan
pekerjaan tersebut. Sejauh yang saya ingat orang yang menemui saya saat itu
adalah As’ad, salah satu pegawai di Cafe Cangkir. Disitu saya diberitahu
perihal jam kerja, gaji, deskripsi pekerjaan beserta hal-hal kecil yang lain.
Beberapa pertanyaan sempat saya lontarkan sebab ada yang masih membuat saya
mengganjal. Pertanyaan pertama perihal cv dan surat lamaran kerja: hal tersebut
ternyata tidak berlaku di sini, yang dibutuhkan hanyalah sistem saling percaya
dan niat serius untuk bekerja. hal ini sangat bertolak belakang dengan banyaknya cv, ijazah dan lamaran kerja yang sudah banyak saya sebar namun tidak satupun jawaban yang masuk. sedangkan ini tanpa embel-embel tersebut sudah bisa diterima. Pertanyaan kedua perihal pakaian saat kerja sebab
saya kurang suka jika harus berpenampilan serba formal setiap hari, ibu saya
saja pernah mengatakan bagaimana nanti saya jika bekerja kalau tidak suka
berpenampilan rapi, pakaian formal pun juga tidak berlaku disini. Selanjutnya
pertanyaan terakhir adalah perihal permohonan waktu sehari untuk mempertimbangkan
sebelum saya memutuskan, dan berbalas positif.
Selanjutnya
saya benar-benar bekerja ditempat tersebut sampai saat saya menuliskan tulisan
ini. Selebihnya masih banyak keajaiban-keajaiban yang tak terduga sebelumnya
yang belum sempat saya sampaikan pada tulisan ini, dan akan bersambung pada
kesempatan berikutnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar