Kamis, 22 Desember 2016

Dia yang Aku Panggil Ibuk

Lokasi : Masjid Kubah Emas Dian Al-Mahri
Depok, 29 Mei 2014
Diambil saat sedang ziarah wali songo



Buk.. 
pie kabare samean?
sehat tho.. 
samean masak opo buk...
wes maem durung samean mau?
nek durung, samean ndang maem...
ojo lali istirahat... ojo kesel2 samean iku...

Buk.. 
sepurane nggeh.. 
sampek akhir tahun niki kulo dereng saget damel bapak ibuk bangga... 
dereng saget damel samean seneng... 
kuliah molor... dereng lulus2 padahal kancane pun podo katah seng lulus.
sepurane nggeh buk... 
kulo dereng saget mbantu perekonomian keluarga... 
malah nggawe soro samean kale bapak... gara2 kuliah molor... 

Buk..
sekedik maleh... 
sekedik maleh nggeh samean entosi... mantun niki kulo lulus...
nggeh nek saget mboten sekedik... tapi nggeh sak terus e...
amergo kulo nggeh iri kale rencang2 kulo.
pengen samean ndugi ten wisuda kulo...
pengen samean ngertos mbesok damel ngerestui kulo rabi... 
pengen samean saget nggendong putu samean... 

Buk...
ngapunten nggeh buk... 
ngapunten sing kuatah... kulo nyesel, dereng lulus2 sampek ayah mboten wonten...

Buk...
samean sing kuat nggeh... 
sehat terus... 
kulo mung saget sms... 
mboten wantun ngomong langsung... 
ngapunten nggeh buk... 
Selamat Hari Ibu...


Ini merupakan pesan yang sempat saya kirimkan ke Ibuk pagi ini. Saya tahu ibuk pasti belum membuka hp untuk membaca pesan ini. Biasanya jam segini ibu sedang sibuk mempersiapkan botokan untuk dititipkan di pasar tradisional terdekat, meracik es sinom, gorengan untuk di jual di depan rumah, dan beberapa botol bensin yang kosong untuk di isi. Bangun pukul 03.00 dini hari setelah sholat sampai pukul 10.00 pagi, setelah itu duduk menunggu pembeli gorengan dan bensin di depan rumah. Kegiatan baru ibuk setelah ayah pergi. Terkadang warung belum sampai buka banyak pembeli yang sudah memesan, 5 ribu sampai 10 ribu. Es Sinom dan gorengan molen ibuk paling laris diserbu pembeli, sehingga masih belum buka sudah habis di pesan orang.

Akhir-akhir ini memang sering saya berkirim pesan dengan ibuk. Berbicara soal masakan ibuk sampai kegiatan yang saya lakukan setiap harinya. Sedikit cerita tentang ibuk, ibuk saya sosok yang benar-benar sangat mandiri. Semua hal yang bisa dikerjakannya akan dikerjakan sendiri. Seperti beberapa hari yang lalu, ibuk memotong sendiri pohon buah srikaya di depan rumah menggunakan golok. Anehnya mungkin karena kekuatan ibuk terlalu besar golok tersebut sampai lepas dari pegangannya. Saya hanya bisa heran membaca pesan dari ibuk sebab saya masih posisi di Jember.

Foto di atas merupakan foto Ibuk dan Bapak saat melakukan perjalanan ziarah wali sembilan, berlokasi di Masjid Kubah Emas Depok. 29 Mei 2014 tahun kemarin. Mereka berdua layaknya muda-mudi yang lagi pacaran. Sebab waktu bapak dan ibuk berangkat ke wali songo saya sedang berada di Jember dan adik ada di pondok Jombang.

Jika saya di rumah, sering saya membayangkan foto mereka berdua sembari mengenakan kain ihram. Seperti yang mereka berdua cita-citakan, sehingga membuat mereka berdua mendaftar dan menabung untuk mewujudkannya. Namun apa daya, harus menunggu beberapa tahun bapak dan ibuk baru bisa berangkat. Sampai Tuhan berkata lain memilih untuk segera bertemu bapak. Terkadang saya heran kenapa antrian harus begitu panjang.

Ibuk dan Bapak... Saya kasih tahu. Mereka berdua merupakan pasangan sederhana yang sangat romantis. Candaan mereka saat dirumah terkadang membuat saya rindu. Saling berbalas kentut, saling ejek sebab rambut sudah mulai banyak tumbuh uban, saling ejek gara2 sudah mulai pikun. Entahlah.. saya tak kuat mengingatnya. Sering kali sikap mereka membuat saya heran. Pernah suatu ketika mendapat undangan resepsi pernikahan dari salah satu saudara. Sampai di tempat parkir Bapak dan Ibuk baru sadar acara resepsi di adakan di sebuah gedung mewah. Beberapa pengunjung menggunakan Jas dan Gaun2 cantik lainnya. Sedangkan Bapak hanya mengenakan sarung dengan baju batik dan berkopyah, Ibuk memakai setelan baju daster bepergian tak jauh beda seperti yang ada di foto. Parahnya Bapak salah memakai sendal jepit -kebiasaan bapak sebab matanya sedikit kabur saat gelap-. Akhirnya mereka pulang dan berkata ke penjaga parkir mereka kesasar.

Ibuk.. ingin sebenarnya saya untuk memeluknya saat di rumah. Namun dasarnya saya memang pemalu, hal itu jadi hanya keinginan saja. Akhir-akhir ini saya sering merindukannya. Saya selalu berdo'a semoga ibuk bisa kuat. 40 harian ayah kemarin ibuk masih belum mampu untuk pergi ke makam bapak. Melalui bapak dan ibuk saya benar-benar belajar banyak. Bagaimana itu perpisahan sampai indahnya suatu hubungan kesetiaan yang abadi. Bukan layaknya pemuda pemudi atau abg-abg labil yang setelah putus lalu update status mewek, nangis di medsos. Atau mbribik kata2 galau takut perpisahan dan ditinggalkan. Lebih dari itu... sulit untuk menjelaskannya.

Hanya ini yang bisa saya tulis untuk ibuk. Selebihnya masih saya buat proyek tulisan yang menceritakan lebih lengkap tentang sosok bapak dan ibuk. Semoga akhir tahun ini bisa selesai. Untuk sekarang hanya do'a, do'a dan do'a yang bisa saya lakukan dan berikan. Agar Tuhan bisa selalu menjaga ibuk saya dan menempatkan bapak di tempat yang terbaik. Amin. Tabik. []

Rabu, 14 September 2016

Peninggalan Tanpa Wujud


Lanjutan tulisan saya yang berjudul pesan whatsapp. Baru saja saya bangkit dari kemalasan yang mendera akhirnya bisa menulis lagi. Tulisan ini, jika bisa saya dedikasikan untuk ibu beribu terimakasih atas apa yang telah engkau berikan. Terucap rasa syukur atas apa yang telah engkau ajarkan. Satu pelajaran penuh arti, pelajaran untuk bertahan hidup.

Di tulisan sebelumnya saya mengakhiri tulisan dengan menuliskan telah diterima bekerja di sebuah cafe. Berikut kelanjutan kisahnya. Saya bekerja sejak tanggal 15 Maret 2016 masih teringat dengan jelas. Cafe tersebut letaknya tidak jauh dari tempat saya tinggal hanya sekitar 15 menit berjalan kaki. Saya diterima bekerja sebagai seorang pelayan, mengantarkan gelas demi gelas disetiap meja sesuai permintaan pelanggan. Nampaknya memang bukan pekerjaan yang sulit namun disini lah kisah ini berlanjut.

Saya adalah seorang pelayan cafe sejak bekerja di cafe tersebut. Cafe Cangkir Kita terletak di jalan tidar berdekatan dengan Zona Futsal. Jika waktu senggang mempirlah mari untuk meneguk segelas kopi dan menikmati malam. Sebagai seorang pelayan job dis saya tidak banyak namun sedikit berat serta memerlukan banyak tenaga dan kesabaran. Cangkir memiliki 4 pegawai semuanya laki-laki diantaranya ada Kasir, Barista, Koki & Pelayan. Jam kerja saya dari pukul 19.00 sampai pukul 01.00 atau bahasa lainya sampai cafe tutup. Saya memang bekerja sebagai pelayan namun tugas utama saya adalah sebagai tukang cuci gelas-gelas kotor. Jangan bingung itu termasuk dalam satu paket job dis saya.

"Jika ada banyak gelas kotor kamu fokusnya nyelesaikan gelas-gelas tersebut, nanti ngantarkan makanan dan minuman di tanggung bersama" perkataan Mas Yopi salah satu owner Cangkir saat hari pertama saya training kerja. Seperti yang saya katakan tidak banyak job dis saya. Mencuci gelas-gelas kotor yang menumpuk, mengantarkan makanan dan minuman saat cucian sudah selesai, mengambil satu per satu gelas di meja meja yang sudah di tinggalkan dan terakhir membantu pegawai lain untuk menutup Cafe.

Hari pertama bekerja saya disambut dengan setumpuk cucian gelas kotor. Hari hari berikutnya hal tersebut menjadi terbiasa, dalam sehari saya dapat menghasilkan 3-5 bak besar penuh yang biasa digunakan untu mencuci pakaian (saya tak tahu indonesianya). 1-2 bak sebelum jam malam mendekati close order, 2-3 bak dari pukul 23.00 sampai jam close order 24.00 WIB. Hari pertama masih tak terasa, seminggu pertama baik-baik saja, seminggu kedua mulai terasa lelah, sampai sebulan pertama saya berhasil untuk melewatinya.

Perjalanan satu bulan pertama banyak keluh kesah dalam hati yang harus saya lalui. Bekerja itu lelah, mencari uang itu susah, disitu saya menyadari dan mempelajarai banyak hal. Suatu ketika -saat sedang menghabiskan banyak cucian- pernah terlintas dalam benak saya bahwa mencuci piring dan gelas adalah pelajaran yang di ajarkan ibu saya saat mulai beranjak dewasa. Saya lupa tepatnya umur berapa saya mulai di ajarkan untuk mandiri. Membantu mencuci piring dan gelas di rumah, membersihkan rumah, mencuci baju dan masih banyak yang lain. Sekilas saya teringat apa yang ibu ajarkan. Ada haru disana. Peninggalan tanpa wujud, kemandirian. Peninggalan yang membuat saya bertahan dalam usaha mencari satu-dua lembar uang saku tambahan. Saya bersyukur, terimakasih buk.

Sepinya pasar ayah membuat ibu, adek dan saya harus mencari tambahan meringankan keuangan keluarga. Ibu dengan pekerjaanya di usaha rumahan pembuatan kursi. Adek dengan menjual es lilin (ini membuat saya haru tertahan saat mendengar cerita dari ibu) agar bisa mendapat tambahan uang saku. Saya bekerja di cafe untuk mencari tambahan uang saku juga, sebab adek dan saya tidak setiap saat bisa mendapatkan uang saku (tapi orang tua kami selalu mengusahakan agar tetap bisa memberi uang saku). Heran, ada saat dimana saya sedang bekerja teringat ibu, ayah dan adek yang sama-sama bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Ingatan itu seperti kilasan film yang berjalan menampakan wajah teduh mereka, lelah, senyum semua bercampur menjadi satu memunculkan rindu.

Sampai saya menuliskan kisah ini saya masih terus selalu bersyukur. Banyak perubahan yang sudah saya alami. Banyak pelajaran yang sudah dan masih saya pelajari tentang hidup. 2 bulan pertama saya bekerja sebagai pelayan merangkap tukang cuci. 2 bulan berikutnya saya menjadi tukang masak (memasak makanan ringan french fries, pop corn dan mie). Sekarang dan masih saya jalani menjadi kasir. Perubahan yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Banyak jalan yang sudah Tuhan berikan dalam bentuk pilihan. Kita hanya perlu memilih lalu ikhlas dan bersyukur menjalani. Jangan pernah ragu dan berfikir negatif. Kita tak akan pernah tahu rencana Tuhan.[]
     




Selasa, 19 April 2016

Pesan Whatsapp


Sebenarnya tulisan ini sudah seharusnya selesai beberapa hari yang lalu saat hari pertama bekerja. Namun karena masih awal pertama bekerja, masih belum terbiasa sehingga sepulang bekerja pukul 01.00 dini hari saya langsung tertidur pulas saat sampai di kamar kos.

Sembari mengunyah biskuit abon malkist saya memulai menuliskan awal mula, termasuk alasan dimana saya memang sudah seharusnya untuk mencari pekerjaan di tahun terakhir saya berkuliah. Selasa, 07 Maret 2016 sekitar pukul 18.45 WIB setelah sholat isya lebih tepatnya saya mendapatkan pesan whatsapp masuk. Pesan tersebut dari bibi, adik dari ibu saya yang biasa saya sapa dengan sapaan Lek Bin kepanjangan dari Binarti nama lengkapnya. Biasannya saat Lek Bin sms, telepon, atau mengirim pesan whatsapp tidak pernah jauh dari bertanya kabar, sudah makan atau belum, hingga bersambung pada sesi curhat dimana Lek Bin menceritakan kegiatan anaknya Galang yang berusia sekitar 4-5 tahun. Galang memang lumayan dekat dengan saya. Saat libur panjang kuliah dan sedang pulang ke Madiun Galang tidak pernah lepas dengan saya, kemanapun saya pergi Galang selalu ikut.

Kembali ke pasan whatsapp. Hari itu berbeda dari biasanya. Tidak ada sesi curhat, namun diganti dengan pertanyaan kapan saya akan di wisuda. Pertanyaan yang jarang sekali terlontar dari keluarga saya. Saya pun menjelaskannya dengan panjang lebar perihal keterlambatan perkuliahan saya sehingga berujung pada molornya masa studi. Lek Bin lalu mengatakan pertanyaan tersebut datang dari ibu saya, dimana sehari sebelumnya ibu ber-sms ria dengan lek bin. Selanjutnya lek bin mengirimkan screenshoot potongan pesan dari ibu, setelah membaca potongan-potongan pesan tersebut saya hanya bisa terdiam. Banyak fikiran berkecamuk tak tentu arah bingung, sedih, marah, hingga berakhir dimana saya hanya bisa menyalahkan diri saya atas segala hal. Seperti anak labil tiba-tiba butuh rokok, kopi, tempat untuk menyendiri, pacar untuk berbagi (sayangnya saya tidak punya), akhirnya saya mencari Yayan Si Anak Terong untuk menceritakan ke kalutan atas fikiran saya.

Potongan pesan tersebut berisi kebingungan tertahan dari ibu saya. Adakalanya ibu merasa malu, sebab teman-teman sekolah dasar saya dulu sudah akan di wisuda sarjana. Sialnya lagi ayah dari salah satu teman sd saya tersebut –yang jarak rumahnya hanya sepelemparan batu dari rumah saya- selalu update kabar terbaru saya, sembari mengunggul-unggulkan anaknya sehingga membuat ibu semakin malu. Adakalanya ibu merasa kesal sebab kuliah saya yang tak kunjung usai, sehingga membuat ibu saya terbelit hutang guna masih harus membiayai molornya kuliah saya. Belum lagi uang SPP sekolah adek –sekarang harus bayar sebab bukan asli warga surabaya- yang harus menunggak tiga bulan lalu uang bulanan listrik yang masih menunggak juga.

Ibu bingung –saya khawatir akan kesehatannya- harus bagaimana. Ibu juga khawatir darah tinggi ayah naik jika tertekan kondisi dan banyak fikiran. Keadaan ekonomi keluarga sekarang memang sedang mengalami banyak cobaan. Tidak lagi terlihat tetangga rumah yang biasa mencari ikan atau pemilik tambak yang menjual ikannya di rumah, sebab sudah banyak tambak ­ter-uruk tanah untuk dijadikan pabrik dan perumahan. Agar tetap bisa berdagang ikan ayah harus kulakan di pasar ikan dimana harga ikan sangat tinggi tidak sebanding dengan harga penjualan. Belum lagi jika bertemu ibu-ibu yang menawar dengan harga tidak manusiawi yang akan mencibir saat tidak berhasil menawar.

Akhirnya ibu juga bekerja guna membantu perekonomian keluarga, begitu juga dengan adek. Ibu bekerja di usaha rumahan pembuatan kursi –entah kursi seperti apa- yang tidak jauh dari tempat kost ibu saat masih muda. Sedangkan adek berjualan es lilin di sekolah walaupun tidak banyak hanya 12-15 biji. Kata ibu adek masih dalam tahap berlatih, awalnya malu tapi pelan-pelan ibu juga memahamkan kondisi ekonomi keluarga sehingga adek pun mau. Mendengar cerita itu mata saya berkaca-kaca walaupun sudah menetes satu.  

Bekerja Tanpa Ijazah

Pesan whatsapp tersebut saya ceritakan pada dua teman saya, Yayan dan Nisful. Yayan ini teman seangkatan SMA saat di pesantren, tapi kami baru akrab saat sama-sama merantau kuliah di Jember. Sedangkan Nisful –teman dunia maya, sebab telepon nyasar- saya tidak pernah kenal dan bertemu dengannya tapi kami sangat akrab dan sering saling curhat.

Bekerja menjadi pilihan terakhir untuk bisa bertahan menghadapi kondisi tersebut. Tujuannya agar ada pemasukan tanpa mengharap kiriman orang tua, tetap bisa segera lulus walau harus kuliah sambil bekerja dan menebus kesalahan untuk membiayai sendiri molornya kuliah sebagai bentuk tanggung jawab. Saya tidak memilih menjadi guru les, selain sudah pernah saya juga kurang tertarik jika harus mengajar walaupun sebenarnya mampu. Sebelumnya saya juga sudah pernah melamar kerja. Dari tiga surat lamaran kerja yang saya kirim, hanya satu yang berhasil lolos hingga sampai ke tahap wawancara sebelum benar-benar diterima. Namun semangat tersebut pupus saat tes wawancara, sebab mahasiswa yang masih berkuliah kurang begitu dipertimbangkan untuk diterima. Alasannya karena jam kerja yang padat pasti akan mengganggu perkuliahan. Alasan tersebut yang membuat saya gagal untuk diterima.

Sejak saat itu saya tida tertarik lagi untuk melamar atau hanya memasukan surat lamaran kerja. Memang, sampai semester 10 sekarang ini saya masih juga menempuh mata kuliah. Tujuan saya adalah untuk mendongkrak IPK yang masih belum memasuki angka 3, padahal tinggal 6 angka lagi dibelakang koma untuk mencapai angka 3. Nasehat teman saya kuliah sudah terlanjur molor akan rugi jadinya kalo tidak mencapai angka 3.

Setelah hadir pesan whatsapp saya kembali bergerilya dari satu grup info lowongan kerja di facebook ke group yang lain, dari satu teman ke teman yang lain. Sasaran saya pekerjaan sebagai pelayan di cafe atau restoran, menjaga kios distro, atau menjaga warnet. Jika ada postingan info lowongan kerja di facebook langsung saya hubungi contact person-nya, membuat cv dan lamaran lalu kirim. Jika ada info dari teman langsung saya datangi tempat yang dimaksud, bertanya, membuat cv dan lamaran lalu kirim. Terus seperti itu.

Saya membeli satu bendel amplop coklat besar yang biasa digunakan untuk melamar pekerjaan. Pertimbangannya lebih murah membeli satu bendel dari pada jika harus membeli per-biji, selain itu juga praktis tidak harus berkali-kali beli. Saat itu bendelan amplop coklat sudah hampir habis, namun setelah berbulan-bulan belum juga ada panggilan dari pihak tempat saya memasukan lamaran kerja. Ada satu panggilan tapi saya tidak cocok dengan jam kerjanya, sebab tidak memberikan saya waktu untuk mengerjakan skripsi.

Sampai pada sebuah postingan di facebook dengan akun bernama Yopi yang memposting lowongan pekerjaan sebagai pelayan di Cafe Cangkir Kita. Lokasinya tidak jauh dari pondok tempat saya tinggal, hanya sejauh suara adzan dari pengeras suara di masjid. Selanjutnya saya mengirim pesan pada CP yang tertera di postingan, sayangnya hanya berbalas permohonan maaf sebab sudah ada orang yang lebih dahulu mengisi lowongan. Namun saya akan dihubungi kembali jika orang tersebut membatalkan untuk memasuki lowongan.

Pasrah, sebagai jalan terakhir sembari tetap bergerilya. Setiap malam kegiatannya hanya ngopi dari satu tempat ke tempat yang lain sambil sesekali bertanya adakah lowongan pekerjaan. Membayangkan untuk melakukan hal nekat namun nalar masih tetap bermain. Sampai pada suatu sore dimana saat itu sedang membantu teman-teman yang lain untuk melatih silat. Latihan selesai, tiga panggilan tak terjawab dengan nomor asing dan satu pesan sms muncul di layar handphone. Sms tersebut berisi jika masih tertarik untuk bekerja agar segera datang ke Cafe Cangkir Kita pukul 17.00 WIB untuk menemui orang yang namanya tersebut di dalam pesan. Sialnya saat saya membuka pesan waktu sudah menunjukan pukul 17.30 WIB. Saya mengirimkan pesan permohonan maaf dan jika masih di izinkan saya akan datang pukul 19.00 WIB untuk menemui orang tersebut namanya di atas. Nasib baik sedang berpihak, pesan tersebut berbalas positif.

Pukul 19.00 WIB saya datang ke cafe tersebut lalu bertemu dengan salah satu diantara Mas Fikar, Mas Yopi, dan Mas As’ad untuk membicarakan perihal lowongan pekerjaan tersebut. Sejauh yang saya ingat orang yang menemui saya saat itu adalah As’ad, salah satu pegawai di Cafe Cangkir. Disitu saya diberitahu perihal jam kerja, gaji, deskripsi pekerjaan beserta hal-hal kecil yang lain. Beberapa pertanyaan sempat saya lontarkan sebab ada yang masih membuat saya mengganjal. Pertanyaan pertama perihal cv dan surat lamaran kerja: hal tersebut ternyata tidak berlaku di sini, yang dibutuhkan hanyalah sistem saling percaya dan niat serius untuk bekerja. hal ini sangat bertolak belakang dengan banyaknya cv, ijazah dan lamaran kerja yang sudah banyak saya sebar namun tidak satupun jawaban yang masuk. sedangkan ini tanpa embel-embel tersebut sudah bisa diterima. Pertanyaan kedua perihal pakaian saat kerja sebab saya kurang suka jika harus berpenampilan serba formal setiap hari, ibu saya saja pernah mengatakan bagaimana nanti saya jika bekerja kalau tidak suka berpenampilan rapi, pakaian formal pun juga tidak berlaku disini. Selanjutnya pertanyaan terakhir adalah perihal permohonan waktu sehari untuk mempertimbangkan sebelum saya memutuskan, dan berbalas positif.


Selanjutnya saya benar-benar bekerja ditempat tersebut sampai saat saya menuliskan tulisan ini. Selebihnya masih banyak keajaiban-keajaiban yang tak terduga sebelumnya yang belum sempat saya sampaikan pada tulisan ini, dan akan bersambung pada kesempatan berikutnya.[]

Jumat, 12 Februari 2016

Untitle


sudah tidak akan pernah berjumpa lagi di kampus. bukan sebab sibuk menyelesaikan skripsi. atau menjalankan kesibukan lain.

melainkan sudah tidak berada di dunia yang sama. tegur sapa saling ejek skripsi sebagai topik. menjadi bahan eksistensi sebuah keberadaan.

seperti ada puzzle yang hilang. sesuatu yang biasa terjadi tak bisa terulang kembali. hanya dalam kilasan memori semua itu terulang.

berjalan layaknya cuplikan sebuah film. tentunya berbeda-beda cuplikan dalam setiap memori. memori dari setiap orang.

bagaimanapun pergulatan dengan waktu masih tetap berjalan. kami masih bergulat. bukan untuk kau. Kau tiada dalam fana ini, tapi kau abadi dalam setiap memori kami.

sampai sekarang pun masih menjadi renungan. salah satu perkataan dari Gie. aku belum bisa memecahkanya.

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
― Soe Hok Gie
Berbahagialah kamu.



11 Februari 2016