Selasa, 19 April 2016

Pesan Whatsapp


Sebenarnya tulisan ini sudah seharusnya selesai beberapa hari yang lalu saat hari pertama bekerja. Namun karena masih awal pertama bekerja, masih belum terbiasa sehingga sepulang bekerja pukul 01.00 dini hari saya langsung tertidur pulas saat sampai di kamar kos.

Sembari mengunyah biskuit abon malkist saya memulai menuliskan awal mula, termasuk alasan dimana saya memang sudah seharusnya untuk mencari pekerjaan di tahun terakhir saya berkuliah. Selasa, 07 Maret 2016 sekitar pukul 18.45 WIB setelah sholat isya lebih tepatnya saya mendapatkan pesan whatsapp masuk. Pesan tersebut dari bibi, adik dari ibu saya yang biasa saya sapa dengan sapaan Lek Bin kepanjangan dari Binarti nama lengkapnya. Biasannya saat Lek Bin sms, telepon, atau mengirim pesan whatsapp tidak pernah jauh dari bertanya kabar, sudah makan atau belum, hingga bersambung pada sesi curhat dimana Lek Bin menceritakan kegiatan anaknya Galang yang berusia sekitar 4-5 tahun. Galang memang lumayan dekat dengan saya. Saat libur panjang kuliah dan sedang pulang ke Madiun Galang tidak pernah lepas dengan saya, kemanapun saya pergi Galang selalu ikut.

Kembali ke pasan whatsapp. Hari itu berbeda dari biasanya. Tidak ada sesi curhat, namun diganti dengan pertanyaan kapan saya akan di wisuda. Pertanyaan yang jarang sekali terlontar dari keluarga saya. Saya pun menjelaskannya dengan panjang lebar perihal keterlambatan perkuliahan saya sehingga berujung pada molornya masa studi. Lek Bin lalu mengatakan pertanyaan tersebut datang dari ibu saya, dimana sehari sebelumnya ibu ber-sms ria dengan lek bin. Selanjutnya lek bin mengirimkan screenshoot potongan pesan dari ibu, setelah membaca potongan-potongan pesan tersebut saya hanya bisa terdiam. Banyak fikiran berkecamuk tak tentu arah bingung, sedih, marah, hingga berakhir dimana saya hanya bisa menyalahkan diri saya atas segala hal. Seperti anak labil tiba-tiba butuh rokok, kopi, tempat untuk menyendiri, pacar untuk berbagi (sayangnya saya tidak punya), akhirnya saya mencari Yayan Si Anak Terong untuk menceritakan ke kalutan atas fikiran saya.

Potongan pesan tersebut berisi kebingungan tertahan dari ibu saya. Adakalanya ibu merasa malu, sebab teman-teman sekolah dasar saya dulu sudah akan di wisuda sarjana. Sialnya lagi ayah dari salah satu teman sd saya tersebut –yang jarak rumahnya hanya sepelemparan batu dari rumah saya- selalu update kabar terbaru saya, sembari mengunggul-unggulkan anaknya sehingga membuat ibu semakin malu. Adakalanya ibu merasa kesal sebab kuliah saya yang tak kunjung usai, sehingga membuat ibu saya terbelit hutang guna masih harus membiayai molornya kuliah saya. Belum lagi uang SPP sekolah adek –sekarang harus bayar sebab bukan asli warga surabaya- yang harus menunggak tiga bulan lalu uang bulanan listrik yang masih menunggak juga.

Ibu bingung –saya khawatir akan kesehatannya- harus bagaimana. Ibu juga khawatir darah tinggi ayah naik jika tertekan kondisi dan banyak fikiran. Keadaan ekonomi keluarga sekarang memang sedang mengalami banyak cobaan. Tidak lagi terlihat tetangga rumah yang biasa mencari ikan atau pemilik tambak yang menjual ikannya di rumah, sebab sudah banyak tambak ­ter-uruk tanah untuk dijadikan pabrik dan perumahan. Agar tetap bisa berdagang ikan ayah harus kulakan di pasar ikan dimana harga ikan sangat tinggi tidak sebanding dengan harga penjualan. Belum lagi jika bertemu ibu-ibu yang menawar dengan harga tidak manusiawi yang akan mencibir saat tidak berhasil menawar.

Akhirnya ibu juga bekerja guna membantu perekonomian keluarga, begitu juga dengan adek. Ibu bekerja di usaha rumahan pembuatan kursi –entah kursi seperti apa- yang tidak jauh dari tempat kost ibu saat masih muda. Sedangkan adek berjualan es lilin di sekolah walaupun tidak banyak hanya 12-15 biji. Kata ibu adek masih dalam tahap berlatih, awalnya malu tapi pelan-pelan ibu juga memahamkan kondisi ekonomi keluarga sehingga adek pun mau. Mendengar cerita itu mata saya berkaca-kaca walaupun sudah menetes satu.  

Bekerja Tanpa Ijazah

Pesan whatsapp tersebut saya ceritakan pada dua teman saya, Yayan dan Nisful. Yayan ini teman seangkatan SMA saat di pesantren, tapi kami baru akrab saat sama-sama merantau kuliah di Jember. Sedangkan Nisful –teman dunia maya, sebab telepon nyasar- saya tidak pernah kenal dan bertemu dengannya tapi kami sangat akrab dan sering saling curhat.

Bekerja menjadi pilihan terakhir untuk bisa bertahan menghadapi kondisi tersebut. Tujuannya agar ada pemasukan tanpa mengharap kiriman orang tua, tetap bisa segera lulus walau harus kuliah sambil bekerja dan menebus kesalahan untuk membiayai sendiri molornya kuliah sebagai bentuk tanggung jawab. Saya tidak memilih menjadi guru les, selain sudah pernah saya juga kurang tertarik jika harus mengajar walaupun sebenarnya mampu. Sebelumnya saya juga sudah pernah melamar kerja. Dari tiga surat lamaran kerja yang saya kirim, hanya satu yang berhasil lolos hingga sampai ke tahap wawancara sebelum benar-benar diterima. Namun semangat tersebut pupus saat tes wawancara, sebab mahasiswa yang masih berkuliah kurang begitu dipertimbangkan untuk diterima. Alasannya karena jam kerja yang padat pasti akan mengganggu perkuliahan. Alasan tersebut yang membuat saya gagal untuk diterima.

Sejak saat itu saya tida tertarik lagi untuk melamar atau hanya memasukan surat lamaran kerja. Memang, sampai semester 10 sekarang ini saya masih juga menempuh mata kuliah. Tujuan saya adalah untuk mendongkrak IPK yang masih belum memasuki angka 3, padahal tinggal 6 angka lagi dibelakang koma untuk mencapai angka 3. Nasehat teman saya kuliah sudah terlanjur molor akan rugi jadinya kalo tidak mencapai angka 3.

Setelah hadir pesan whatsapp saya kembali bergerilya dari satu grup info lowongan kerja di facebook ke group yang lain, dari satu teman ke teman yang lain. Sasaran saya pekerjaan sebagai pelayan di cafe atau restoran, menjaga kios distro, atau menjaga warnet. Jika ada postingan info lowongan kerja di facebook langsung saya hubungi contact person-nya, membuat cv dan lamaran lalu kirim. Jika ada info dari teman langsung saya datangi tempat yang dimaksud, bertanya, membuat cv dan lamaran lalu kirim. Terus seperti itu.

Saya membeli satu bendel amplop coklat besar yang biasa digunakan untuk melamar pekerjaan. Pertimbangannya lebih murah membeli satu bendel dari pada jika harus membeli per-biji, selain itu juga praktis tidak harus berkali-kali beli. Saat itu bendelan amplop coklat sudah hampir habis, namun setelah berbulan-bulan belum juga ada panggilan dari pihak tempat saya memasukan lamaran kerja. Ada satu panggilan tapi saya tidak cocok dengan jam kerjanya, sebab tidak memberikan saya waktu untuk mengerjakan skripsi.

Sampai pada sebuah postingan di facebook dengan akun bernama Yopi yang memposting lowongan pekerjaan sebagai pelayan di Cafe Cangkir Kita. Lokasinya tidak jauh dari pondok tempat saya tinggal, hanya sejauh suara adzan dari pengeras suara di masjid. Selanjutnya saya mengirim pesan pada CP yang tertera di postingan, sayangnya hanya berbalas permohonan maaf sebab sudah ada orang yang lebih dahulu mengisi lowongan. Namun saya akan dihubungi kembali jika orang tersebut membatalkan untuk memasuki lowongan.

Pasrah, sebagai jalan terakhir sembari tetap bergerilya. Setiap malam kegiatannya hanya ngopi dari satu tempat ke tempat yang lain sambil sesekali bertanya adakah lowongan pekerjaan. Membayangkan untuk melakukan hal nekat namun nalar masih tetap bermain. Sampai pada suatu sore dimana saat itu sedang membantu teman-teman yang lain untuk melatih silat. Latihan selesai, tiga panggilan tak terjawab dengan nomor asing dan satu pesan sms muncul di layar handphone. Sms tersebut berisi jika masih tertarik untuk bekerja agar segera datang ke Cafe Cangkir Kita pukul 17.00 WIB untuk menemui orang yang namanya tersebut di dalam pesan. Sialnya saat saya membuka pesan waktu sudah menunjukan pukul 17.30 WIB. Saya mengirimkan pesan permohonan maaf dan jika masih di izinkan saya akan datang pukul 19.00 WIB untuk menemui orang tersebut namanya di atas. Nasib baik sedang berpihak, pesan tersebut berbalas positif.

Pukul 19.00 WIB saya datang ke cafe tersebut lalu bertemu dengan salah satu diantara Mas Fikar, Mas Yopi, dan Mas As’ad untuk membicarakan perihal lowongan pekerjaan tersebut. Sejauh yang saya ingat orang yang menemui saya saat itu adalah As’ad, salah satu pegawai di Cafe Cangkir. Disitu saya diberitahu perihal jam kerja, gaji, deskripsi pekerjaan beserta hal-hal kecil yang lain. Beberapa pertanyaan sempat saya lontarkan sebab ada yang masih membuat saya mengganjal. Pertanyaan pertama perihal cv dan surat lamaran kerja: hal tersebut ternyata tidak berlaku di sini, yang dibutuhkan hanyalah sistem saling percaya dan niat serius untuk bekerja. hal ini sangat bertolak belakang dengan banyaknya cv, ijazah dan lamaran kerja yang sudah banyak saya sebar namun tidak satupun jawaban yang masuk. sedangkan ini tanpa embel-embel tersebut sudah bisa diterima. Pertanyaan kedua perihal pakaian saat kerja sebab saya kurang suka jika harus berpenampilan serba formal setiap hari, ibu saya saja pernah mengatakan bagaimana nanti saya jika bekerja kalau tidak suka berpenampilan rapi, pakaian formal pun juga tidak berlaku disini. Selanjutnya pertanyaan terakhir adalah perihal permohonan waktu sehari untuk mempertimbangkan sebelum saya memutuskan, dan berbalas positif.


Selanjutnya saya benar-benar bekerja ditempat tersebut sampai saat saya menuliskan tulisan ini. Selebihnya masih banyak keajaiban-keajaiban yang tak terduga sebelumnya yang belum sempat saya sampaikan pada tulisan ini, dan akan bersambung pada kesempatan berikutnya.[]