Rabu, 06 Maret 2013

Badai, Jl Jawa



Awan mendung bergelayut menghiasi langit sore hari ini, mengantarkanku kembali menuju tempat tinggal ku selama aku mencari ilmu, sekembali dari mengambil surat dari orang tua ku yang di alamatkan kepada saudara ku di Jember, surat yang berisi beberapa berkas penting untuk pengajuan beasiswa.
Surat aku jepitkan pada sepeda motor, sepulang dari rumah saudara ku, di iringi rintik gerimis ringan, ku pacu sepeda motor. Sampai di pondok adzan maghrib sudah selesai berkumandang, aku parkir motor dan berlari menuju kamar, tidak untuk menyusul jama’ah di masjid tapi untuk berlari menuju kamar mandi membersihkan diri.


Membersihkan diri pun selesai, kulanjutkan  dengan menghadap Sang Pemilik Kehidupan. Sebelum menghadap, masuk pesan singkat dalam handphone dengan getaran ringan.
“Ar.. laper, ayo cari makan”. dalam jawa kental.
ayo..” jawabku singkat tanpa fikir panjang, walaupun sebenarnya aku sudah makan jamuan dari saudaraku. 
Selesai menghadap, ku ganti pakaian sholatku dengan pakaian biasa dan langsung berangkat mencari tempat makan.

Awan mendung semakin bergelayut menghawatirkan, akan hujan yang turun tidak sebentar, membuatku teringat rapat magang yang akan ku ikuti. Tapi ku ragu untuk bisa mengikutinya, membuatku berdoa agar hujan turun dengan segera.

Tanpa ada sedikit ingatan dengan surat penting yang masih terjepit di sepeda, Toni aku suruh untuk mengendarai sepada motorku. Pembicaraan kecil diatas sepeda hingga sampai di lesehan pinggiran Jl Jawa, tempat kami akan membeli makan, sepeda motor di parkirkan oleh Toni di bawah pohon beringin besar dekat dengan lesehan tempat kami makan.


Di lesehan situ ada beberapa pelayan muda pria yang melayani, selain itu ada aku dan toni sebagai pembeli, juga beberapa gerombol anak SMA yang sudah selesai makan, tidak lama setelah kami duduk, mereka sudah maju untuk membayar makanan lalu berkendara pergi.
  
Pelayanan di lesehan ini hampir membuat kami terkejut. Karena ketika duduk, kami diberi daftar menu makanan dan disuruh menulis sendiri di kertas kecil yang tadi di sodorkan bersama daftar menu. Memilih dan memilih, akhirnya kami memesan 1 lalapan tempe,  bersama 2 minuman aneh yang ingin kami rasakan, Es susu jeruk.


Tak lama setelah kami memesan datang tiga orang pembeli, dua perempuan dan satu orang laki-laki lalu duduk di samping kami, setelah itu datang lagi sepasang perempuan dan laki-laki duduk di paling pojok, setelah aku dan tiga orang di sampingku. yang dari gerak-geriknya semua orang pasti tau jika mereka berpacaran.


Pesanan datang bersamaan dengan gerimis yang mulai turun, perlahan tapi pasti hingga akhirnya menjadi hujan yang sangat tinggi volume airnya, sampai di situ aku benar-benar masih tidak ingat sama sekali dengan surat penting ku yang masih terjepit di sepeda motor.


Selesai toni makan, percakapan dan gurauan kecil mengiringi, dengan sesekali kami senyum-senyum sendiri, memandangi dan membaca pesan dari orang yang sedang tidak berada di dekat kami, hingga akhirnya terdiam dan terhenti karna hujan yang semakin deras bersama angin kencang mendampingi.


Hujan sederas-derasnya pun terjadi, dengan angin yang berhembus sangat kencang tidak seperti biasanya. Beberapa ranting dari pepohonan Jl Jawa berjatuhan, percikan-percikan air hujan pun sampai mendarat di tubuh, menambah hawa dingin yang terasa menyentuh tubuh. Sampai disitu aku sama sekali tidak teringat dengan surat penting yang terjepit di sepedaku.


Sekali lagi sms masuk, kali ini dari teman organisasiku yang menyuruhku tidak lupa untuk magang, –mengikuti samua kegiatan yang di adakan oleh organisasi sebagai tanda keseriusan jika ingin bergabung- lalu aku balas dengan menjelaskan situasi yang masih kurang mendukung tersebut.


Tidak berhenti sampai disitu, ketakutan dan ke khawatiran berlanjut dengan patahnya kayu bambu yang menjadi penyangga dari atap terpal, membuat kami semua panik dan dengan reflek berdiri memegangi patahan bambu yang hampir menimpa perempuan disampingku.


Patahan bambu membuat terpal semakin mudah dan cepat tertampung air hujan, hingga menggembung dan beberapa kali di dorong oleh pemilik lesehan agar tumpah, tetesan bocor dimana-mana, membuat kami sedikit duduk berjongkok karena tikar yang sudah mulai sedikit basah terkena air. 


Mungkin karena keadaan yang sudah mulai kurang nyaman, dan hujan yang tak kunjung reda, tiga orang yang duduk disampingku mulai membayar pesanannya tadi, lalu beranjak pergi menggunakan jas hujan yang dibawanya. Tinggalah aq, toni dan sepasang kekasih yang duduk tidak jauh dari tempat kami.

Bertambahlah penderitaan kami, ketika tiba-tiba tanpa di duga seluruh lampu di Jl Jawa mati, mungkin karena konslet atau apa yang jelas
aku tak tahu, tak sengaja ku melihat samar sepasang kekasih yang duduk disampingku, dengan mesrahnya berpelukan saling mendekatkan diri untuk saling menghangatkan, membuat aku dan toni iri karena seseorang yang sedang tidak berada bersama kami, di situasi seperti itu bukanlah kekasih atau pacar yang berada di dekat kami melainkan seorang teman.

Kar
ena sepasang kekasih itu, membuatku menceritakan melalui pesan kepada seseorang yang sedang tidak bersamaku, dia lalu menjawab dengan tertawa menyindir, memintaku untuk memeluk Toni supaya tidak iri melihat sepasang kekasih tersebut.

Lama setelah kami menunggu akhirnya hujan pun berhenti, berubah menjandi rintik-rintik hujan ringan yang tidak turun sederas tadi, lalu kami memutuskan untuk langsung kembali ke pondok dan tidak jadi mengikuti magang karena jam yang sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam, selain itu juga karena beberapa teman magang yang juga tidak bisa datang untuk magang.


Setelah membayar makanan yang tadi kami pesan, kami pun menuju ke parkiran mengambil sepeda motor dan bergegas pulang, itulah saat dimana aku teringat dengan surat penting yang masih terjepit di sepeda motor karena aku melihatnya, dengan bentuk yang sudah benar-benar basah dan tidak utuh lagi, juga disana-sini kulit amplopnya sudah terkelupas.


Dengan sedikit geram heran, berkali-kali menyebut, menyumpah hingga tak tau lagi kata-kata apa yang keluar dari mulutku, ku ambil surat penting itu lalu ku lemparkan ke dalam jok –bagasi- sepeda, lalu kami pulang dengan Toni tetap sebagi joki, sepanjang perjalanan kembali fikiranku tidak bisa tenang dan terus berputar, dari orang tua, beasiswa, surat-surat untuk kelengkapan beasiswa, hingga pada kesimpulan akhir, aku tidak bisa mengajukan beasiswa.

Tidak ada komentar: