Minggu, 12 Mei 2013

Berburu Senja di Furama Café




Hari ini adalah Hari kedua dalam schedule acara kami. Di sana tertera dua tempat kunjungan yang harus kami datangi, yaitu Fakultas sastra Universitas Udayana dan juga Desa adat panglipuran Bali. setelah berkunjung di dua tempat tersebut kami melanjutkan perjalanan menuju jimbaran untuk makan malam kami.

Sedikit bocoran dari Tour Leader (TL), makan malam kami akan di tempatkan di Pantai Jimbaran, dengan menikmati suasana sunset bersama Spesial Grilled Ala Seafood Indonesia yang bertempat di Furama Café. iming-iming tempat dan suasana yang romantis membuat kami berimajinasi sepanjang perjalan seperti apa gerangan tempat yang di ceritakan.

Lama perjalanan sekitar 2-3 jam dari desa panglipuran menuju Jimbaran, tidak macet adalah harapan kami sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, karena sunset yang tidak ingin kami lewatkan ketika kami sampai disana. untuk menghilangkan bosan, kami di putarkan film Fast Five yang dibintangi oleh … dan di sutradarai oleh …

Hanya melihat sebentar saja, karena film yang diputar sudah pernah aku lihat. Perhatianku kemudian beralih ke kamera Canon 1100D milik temanku yang aku bawa selama acara PKL (Praktek Kerja Lapang). Dari balik jendela bus aku memotret sesuatu yang aku anggap aneh dan jarang aku temui, hingga akhirnya hanya dua jepretan saja yang aku dapatkan.

Tidak lama aku bermain-main dengan kamera itu, hingga tanpa sadar aku sudah tertidur setengah perjalanan menuju Jimbaran. Hanya beberapa meter sebelum sampai, aku terbangun oleh suara Cok willy preketek ketek tour guide kami yang menyuruh bersiap-siap turun sebelum bus di parkirkan.

Turun dari bus kami di sambut pemandangan senja yang begitu indah, detik detik dimana matahari akan menenggelamkan diri. Kapal-kapal nelayan tertata rapi tidak jauh dari tepi pantai, seperangkat meja kursi berderet menuju bibir pantai, dengan iringan musik pantai dan lilin-lilin kecil yang menghiasi meja, semakin mendukung suasana menjadi lebih harmoni.

satu per satu kami mulai meletakan tas di beberapa kursi yang kosong sebagai tanda itu tempat kami, tanpa menunggu lama kamera yang ku pegang mulai menjepret view indah di tempat itu, hingga kembali pada pekerjaanku sebagai tukang photo.

Tak ingin ketinggalan, banyak dari anak-anak ingin di abadikan gambarnya di tempat itu, satu per satu mulai mengantri dan menunjukan gaya mereka masing-masing. Dari yang sendirian sampai bersama-sama, memenuhi kamera hingga pada titik akhir sang surya mulai menyembunyikan diri.

Selesai berfoto-foto, kami kembali ke meja makan yang telah tersedia. Di sana sudah tertata rapi dengan beberapa sajian, per orang akan mendapatkan satu piring penuh seafood yang terdiri dari ikan bakar, kerang dengan bumbu enaknya, tiga buah udang bakar dalam satu tusuk, dengan se-iris jeruk nipis dan juga tomat sayur. Untuk minumanya satu botol kecil air mineral dan segelas es lemon, lalu beberapa potong semangka sebagai pencuci mulutnya.

Dari segi tempat memang sangat bagus, makan malam dengan di sambut sunset dari kejauhan, di dukung dengan keberadaanya di pinggir pantai, dan juga lilin-lilin kecil di setiap meja, dengan pelayanan mengambil sendiri berapa banyak nasi yang akan kita makan. Dengan di hibur iringan music dari sound system atau tarian-tarian bali jika memang beruntung.

Memang kesempatan yang sangat jarang sekali kita dapatkan, menikmati kebersamaan dengan teman satu angkatan, hingga berburu senja di Pantai Jimbaran untuk makan malam. Meskipun
ada sedikit perasaan tidak tenang akan kebenaran berita yang baru saja aku dapatkan. 


Senin, 06 Mei 2013

Sahabatku, Sang Mantan


Diam kusendiri melamunkan segala hal yang sudah terjadi tentang kisah-kasih yang membuatku selalu merasa tidak sendiri, kisah cinta dimana aku merasakan itu untuk yang pertama kali di usiaku yang mungkin kata orang masih dini, tapi apa daya jika cinta sudah datang tidak ada yang tidak mungkin terjadi.
Kisah ini adalah kisah dimana dua anak manusia yang sedang menimba ilmu di sebuah asrama atau lebih dikenal dengan pondok pesantren terjalin-jalinan kasih dari mata turun ke hati, melalui lipatan kertas mereka berkomunikasi.
Hari ini adalah hari dimana aku di antarkan kedua orang tua ku untuk mengikuti MOS disekolah baru yang akan aku masuki, sebenarnya tidak hanya sekolah tapi juga sekaligus pondok pesantren tempat dimana aku akan belajar dan juga tinggal, itu keputusan yang aku ambil setelah aku lulus dari MI (Madrasah Ibtidaiyah).
Sampai di pondok aku melihat pemandangan yang sangat tidak biasa, banyak sekali wali murid yang mengantarkan anaknya dengan membawa mobil karena yang ikut mengantarkan tidak hanya satu atau dua orang akan tetapi satu rombongan, begitu juga dengan barang bawaan yang mereka bawa, banyak diantara mereka yang membawa kasur lipat, timba, hanger, lemari kecil, gayung dan beberapa perlengkapan lainya.
Berbeda dengan ku, aku hanya membawa satu timba ukuran sedang dengan hanger di dalamnya dan dua buah tas berisi pakaian satu tas bepergian besar dan satu lagi tas sekolah berukuran sedang yang nantinya akan aku pakai untuk sekolah, suatu kewajaran yang aku sadari, bagiku apalah guna membawa barang banyak jika sebagian besar dari barang itu aku masih belum memerlukanya.
Dari belakang terdengar suara seseorang memanggil orang tua ku yang dia ternyata teman satu sekolahku Ali, tidak hanya satu sekolah tapi bisa dikatakan dia masih satu desa dengan aku, dia sosok yang tinggi besar dengan badan yang tidak bisa dikatakan kurus dengan kulit sawo terlalu matang, dari belakangnya aku lihat orang tua dan saudara-saudarannya mengikuti, ternyata dia lebih mirip ibunya dengan badan yang juga besar.
Percakapan pun terjadi antara orang tuaku dengan orang tua Ali hingga akhirnya ibu kami mengantarkan kami memasuki kamar sementara untuk meletakan barang-barang bawaan kami, seperti yang sudah aku duga ruangan 3X4 itu sudah hampir penuh sesak dengan barang-barang bawaan -tidak ringan- yang dibawa oleh setiap santri.
Kami diantar menuju lapangan parkir tempat mobil-mobil -bison- angkutan umum yang sudah disewa sekolah untuk mengantarkan kami menuju tempat kegiatan. Sebelum berangkat aku cium tangan orang tuaku yang mungkin mulai saat itu aku harus berlatih untuk bisa hidup jauh dari pantauan orangtuaku, dan akhirnya aku pun berangkat dan disitulah kisahku bermula.
***
MOS pun selesai dan tahun ajaran baru tiba, di Pondok, terbagi menjadi beberapa komplek, kami siswa atau santri baru terbagi menjadi 5 kamar panggung –kamar dari kayu dengan model panggung berukuran kurang dari 3X4- yang berisi 20-25 anak setiap kamar, yang letaknya tidak jauh dari pintu gerbang Pondok Putra.
Karena Pondok Pesantren ini adalah Pondok Pesantren modern, sistem pendidikan disini tidak hanya mengacu kepada sistem pesantren saja, tetapi juga ada sekolah formal sebagai pengetahuan intelektual kami selain pelajaran agama yang kami terima.
Aktivitas di Pondok ku selalu di mulai pukul tiga pagi karena kami diwajibkan untuk mengikuti kegiatan shalat malam dan pengajian kitab kuning bersama kyai kami, kegiatan itu selalu dilakukan di aula serbaguna pondok putri yang terletak di lantai tiga, karena pondok kami pada saat itu belum memiliki masjid, tidak mudah perjuangan untuk bisa sampai di sana, dengan melewati santri putri yang bisa dibilang tidak sedikit, karena itu wilayah mereka.
Pada pukul 03.30 kyai pun tiba di aula besar dan langsung memimpin shalat malam tanpa komando,    akhirnya shalat malam pun selesai, kyai memberi sedikit penjelasan tentang shalat malam yang baru saja kita lakukan beserta do’a yang harus kami baca, membuat kami tidak bertanya-tanya lagi tentang apa itu shalat malam. Adzan shubuh pun berkumandang, setelah kyai menunjuk salah satu anak yang duduk tidak jauh dari tempat beliau, lalu disambunglah dengan shalat shubuh.
Shalat shubuh selesai kami lakukan, dari luar nampak tiga orang santri sedang mengangkat kursi memasuki aula, kursi diletakan di perbatasan sket antara santri putri dan putra sebagai tempat duduk kyai lalu pengajian pun di mulai.
Kyai memimpin membaca kitab dengan di ikuti oleh kami semua, walaupun sebenarnya aku tak tahu bagaimana cara membacanya jika tidak di tuntun oleh kyai, berbeda dengan farid, dia nampak sangat faham dan giat membaca kitab tadi, di berinya kharakat dan sedikit penjelasan ketika kyai sedang menjelaskan, dari latar belakang yang aku ketahui Farid memang terdidik di lingkungan yang kedua orang tuanya pernah mondok, jadi pelajaran dan lingkungan pondok tidak terasa asing baginya.
Dari sudut ruangan yang aku ketahui, ada beberapa ustadz yang sedang berdiri seperti mengawasi kami yang sedang mengaji, dengan tangan bersilang kebelakang dan berjalan berpindah mereka melakukan tugasnya. Tak terasa mataku terasa berat, memperhatikan kitab ngaji yang aku tak tahu bagaimana cara membacanya, kutundukan kepala dan sedikit menghindar dari sorotan pengawasan dan akhirnya aku pun terlelap.
Semua itu percuma saja karena akhirnya pun aku ketahuan juga, aku dibangunkan dari tidur ku, di catatnya namaku dalam secarik kertas kecil yang dibawanya berlalu melewatiku, desas desis bisikan terdengar di telingaku, akan hukuman atau apalah yang sedang menungguku di ujung pengajian ini.
setelah kejadian barusan membuatku sulit sekali untuk memejamkan mata lagi hingga pengajian pun selesai, ditutupnya pengajian itu dengan do’a lalu kyai pamit meninggalkan tempatnya dengan memberi pengummuman, kami tidak boleh bubar sebelum di bubarkan oleh para ustadz yang ada disitu, dengan memegang pengeras suara dia memberikan pengumumanya.
“bagi yang namanya terpanggil tidak diperbolehkan kembali”.
Segera satu per satu nama disebutkan, tidak memandang santri lama ataupun baru yang terpanggil tetap berada di tempat, hingga sampai pada nama ku yang terpanggil, aku baru menyadari ini adalah hukuman untuk santri-santri yang tidur saat pengajian berlangsung.
Aula pun jadi lumayan kosong, tinggalah santri-santri yang terpanggil untuk menjalani hukuman. Di situ kami sedikit di beri pengertian tentang betapa pentingnya pengajian yang kami ikuti, setelah itu dikeluarkanya sebuah tas plastik sedang yang berisi setumpuk arang, anak-anak yang terkena hukuman dibariskan berjajar, lalu satu persatu wajah kami di olesi arang hingga jikalau pun ada kaca mungkin aku takkan mengenali siapa diriku.
Kami di biarkan kembali satu persatu menuju pondok putra melewati banyak santri putri yang mulai sedang melakukan aktivitasnya, dengan menahan sedikit malu dan mencoba untuk jadi laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Aku turuni tangga setelah usai giliranku untuk di lukis, aku coba untuk tenang dengan membiarkan tawa tergelak disegala penjuru, sampai di tangga paling akhir aku berbelok, dari arah yang sama, datang dengan berlari-lari kecil seorang gadis manis menutupi wajahnya, menabrak ku hingga kami terlempar satu sama lain.
Dengan sendirinya kami berusaha untuk bangun, di bukanya tangan yang sedari tadi menutupi wajahnya, ternyata dia sedang menutupi wajahnya yang masi penuh dengan sabun cuci muka, secara spontan ku tertawa dengan sedikit tertahan lalu dia pun pergi, mungkin malu atau apa, tapi wajah itu membuatku tertawa jika ku mengingatnya.
Suara kyai terdengar nyaring pada pengeras suara yang berada di pondok putra, memberitahukan semua siswa untuk berkumpul di lapangan upacara di situ, satu-per-satu semua anak mulai berkumpul di tempat itu, aku yang terlambat karena hukuman menempatkanku pada barisan belakang yang membuatku hilang mood karena barisan itu.
Aku pandangi setiap sudut barisan yang tidak lepas dari gurauan tiap siswa, dalam bayanganku, barisan yang berada di sampingku tiba-tiba tersibak dengan sendirinya dari sudut barisan para siswi itu aku lihat seseorang yang wajahnya tidak begitu asing bagiku seperti pernah bertemu tapi tidak tahu dimana, wajah yang sempat mengalihkan perhatianku akan kebosanan saat itu.
Hanya beberapa saat ku melihatnya dia juga balik melihatku, lalu tiba-tiba tersenyum tersipu malu dan menghindar dari penglihatanku, setelah aku ingat baru ku sadar dia adalah gadis manis dengan sabun muka yang sempat menabraku di tangga pondok putri, kejadian itu hanya sebentar tapi sensasi waktu yang kurasakan terasa begitu sangat lama hingga membuatku tertawa jika ku mengingatnya.
Apel pagi pun selesai semua siswa-siswi mulai memasuki kelas mereka masing-masing, ini adalah hari pertama siswa-siswi baru untuk masuk sekolah, angkatanku terbagi menjadi lima kelas, untuk tahun pertama kami memang tidak pernah bertemu dengan teman angkatan kami yang berada di pondok putri.
Hari terus berganti, dengan kegiatan sama yang setiap hari selalu kami lakukan, dengan rasa penasaran semakin mendalam, akan siapa gadis bersabun yang pernah menabrakku, hingga muncul keinginan untuk mencari tahu, lalu kuputuskan untuk melakukan itu.
Benar-benar kulakukan, kini setiap apel pagi ku selalu berada pada barisan paling belakang, dengan berusaha mencuri pandang ke barisan para siswi untuk mencari sosok gadis manis yang pernah menabraku, saat itu pula aku tidak pernah berhasil untuk menemukanya, beberapa kali ku ulangi tapi hasilnya tetap sama, aku tidak berhasil untuk menemukanya.
Apel pagi selanjutnya, aku ambil sikap biasa untuk tidak berusaha mencari-carinya, hingga tanpa kusadari beberapa temanku sedang membicarakan seorang siswi dengan sedikit menunjuk-nunjuknya memberitahu kepada temanku yang lainya, penasaran ku coba untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan dan sedikit mengintip siapa gerangan yang mereka bicarakan.
Siswi itu bernama Ira Sylviana dan mereka menunjuk pada siswi yang aku berusaha untuk mencari-cari informasi tentangnya, dari pembicaraan yang aku curi dengar dia memiliki kakak yang juga sedang bersekolah di sini, semua memberiku informasi lebih banyak untuk melanjutkan penelusuranku lebih dalam tentang nona manis yang pernah menabraku.
Hari-hari berikutnya aku sudah mengantongi nama dan siapa saudara kandungnya, tinggal beberapa langkah lagi agar aku bisa berkenalan denganya, penasaran yang semakin terbendung ini memberanikan diriku untuk bertanya kepada seorang guru yang sudah lumayan dekat denganku, dia biasa di panggil dengan Bu Ami, guru Matematika yang mengajar di beberapa kelas angkatanku.
Ulangan harian matematika baru saja di lakukan, selesai ujian ku beranikan diri untuk bertanya ke pada Bu Ami tentang seseorang yang aku ingin ketahui, dengan sedikit malu aku beranikan diri untuk bertanya kepada Bu Ami tentang Ira Sylviana.
Sisa jam terakhir ulangan harian aku gunakan untuk berbicara empat mata dengan Bu Ami, beliau berbicara panjang lebar mengenai Ira, beberapa yang lainya ikut mendengarkan pembicaraan kami berdua hingga bel jam terakhir berbunyi.
Sejak saat itu, setiap kali aku ada pelajaran matematika, Bu Ami selalu bilang aku dapat salam balik dari Ira, entah itu benar atau bercanda aku tidak tahu, aku hanya menaggapinya dengan senyum, suatu ketika Bu Ami memasuki kelas dengan tidak seperti biasanya, tanpa ada salam yang disampikanya kepadaku beliau langsung memulai pelajaranya, pada akhir pelajaran beliau memanggilku dan memberikan sepucuk surat ungu.
“ini ada titipan dari Ira…!!” di berikanya surat itu lalu beliau tersenyum sebelum meninggalkan sekolahku.
Sekolah pun usai, segera aku memasuki kamar asrama, ku letakan tas, tanpa berganti ku ambil sepucuk surat ungu kumasukan ke dalam saku, lalu berlari mencari ruangan untuk menikmati surat ungu. Sampai ku di pojok ruangan lantai tiga, sedikit memanjat, untuk duduk di jendela yang berada di lantai tiga, ku ambil surat itu dari dalam saku, lalu membuka lipatanya hingga muncul tulisan indah dengan tinta hitam, tersusun dalam pesan yang ingin disampaikanya.
Membaca surat dari Ira membuatku salah tingkah, tertawa dan tersenyum sendiri melihat tutur katanya, karena memang dia gadis manis dengan sabun muka yang pernah menabraku, tulisanya sedikit manja hingga membuatku terlena akan kata-kata tidak bakunya.
Selesai membaca surat itu aku langsung melipatnya dan kembali ke kamar asrama untuk makan siang, sepanjang perbuatan yang aku lakukan, selalu dengan sendirinya ku tersenyum tanpa alasan dan tanpa sebab karena setiap yang ku lakukan selalu membuatku teringat  kepadanya, teringat akan senyumnya, teringat akan suaranya dan juga teringat akan semuanya.
Sejak saat itu kami pun jadi akrab, berkenalan lewat Surat, karena memang hanya surat media kami untuk bisa saling berkomunikasi satu sama lain, kini tiap malam setelah belajar, selalu kugunakan waktu ku untuk menulis surat balasan kepadanya, dengan membayangkan paras cantiknya, surat balasan pun selesai kubuat teruntuk kepadanya.
Hari-hari pun terlewati, membuatku benar-benar semakin mengenalnya, meminta biodatanya, photonya, mencari tahu tentang siapa dia, dan siapa keluarganya, hanya dengan sepucuk surat lipatan, sudah merupakan komunikasi yang sangat berharga bagi kami yang tidak ingin ketahuan karena melanggar perturan, sebuah kekuatan dari sepucuk surat lipatan.
Singkat cerita akhirnya pun kami naik di kelas dua Tsanawiyah (SMP), hubungan kami semakin dekat dengan di dukung situasi dan kondisi, karena kelas dua Tsanawiyah kelas kami saling berdekatan, sejak saat itu kami sudah tidak lagi berkirim surat melalui Bu Ami lagi, akan tetapi berkirim surat oleh diri kami dengan sembunyi mencari waktu untuk bisa selalu berjumpa lagi.
Sejauh yang sudah aku kenal Ira adalah anak kedua dari keluarga dengan latar belakang agama yang kuat, karena ayahnya adalah seorang penceramah yang sering di undang untuk mengisi acara di Malasya dan beberapa negara lainya, dia terpaut satu tahun lebih tua dari ku, saudara kandungnya hanya ada satu yang sedang bersekolah dan mondok di tempat yang sama akan tetapi dia berada di kelas dua Aliyah (SMA).
Berbeda dengan adiknya yang pendiam dan pemalu. Di pondok, kakaknya terkenal sangatlah nakal, karena terlalu sering melanggar peraturan, pernah suatu ketika aku di panggilnya karena dia tahu aku dekat dengan adiknya.
“Hei… kamu yang namanya Ari, calon adik iparku?!”
“ya aku Ari Mas.. Adik ipar? Maksudnya mas? 
Pembicaraan itu terjadi dengan jawa kasar, di depan semua teman-temanya, dia –Gaffar- mengatakan aku adalah calon adik iparnya, dan dia merestui dengan syarat aku harus mau melakukan apa yang dia suruh, tapi semua itu ternyata hanya ujian mental yang dilakukanya kepadaku.
Jika di pondok kita berkomunikasi dengan sepucuk surat lipatan, di rumah –waktu libur- dering sms dan telephone tidak pernah berhenti, tidak peduli waktu pagi, siang, malam, kami selalu berkomunikasi, entah apapun bisa menjadi bahan pembicaraan kami.
Kejadian konyol nan lucu pun sering terjadi di antara kami, entah itu secara sengaja ataupun tidak di sengaja di mulai ketika pertemuan pertama kami, hingga kejadian lucu lainya. Ada saat dimana kami sedang ketemuan karena jam kosong yang kebetulan bersamaan di kelas kami, tidak secara langsung, kami berbicara di dekat pintu, dengan bersandar di tembok yang membatasi kami, hanya ketika akan berbicara, salah satu dari kita menengok melewati pintu.
Tengokan pertama, kedua, dan selanjutnya aku bisa berbicara denganya, hingga aku hampir ingin memegang tanganya, akan tetapi aku malu untuk melakukanya, sekali lagi aku menengok melewati pintu untuk pamit memasuki kelas, aku terkejut, bukanya Ira yang berada disana ketika aku menengok ke dalam, sepasang kaki sedang berdiri di tempat Ira duduk sedari tadi.
ketika ku lihat lebih detail ke atas untuk memastikan, dia adalah Pak Pardi guru matematika ku sedang berdiri menyandar tembok di tempat Ira duduk sebelumnya, malu bukan kepalang akan apa yang ku lakukan, hanya tersenyum melihatnya lalu meminta maaf, dengan sedikit berlari kecil ku tinggalkan tempat itu karna ku malu sudah kepergok oleh guru ku.
Hari berikutnya Ira mengenalkanku pada temanya Ifa yang mempunyai hobi yang sama dengan ku, suka membaca komik naruto, hingga kami pun akrab juga sering berkirim surat. Saat yang ku tunggu pun tiba, untuk menyatakan perasaanku kepada Ira, ku kirimi dia surat seperti biasanya dengan isi yang berbeda, lantunan lirik lagu “Aku Jatuh Cinta” pun mewakili perasaan ku.
Tiga hari lamanya tidak juga datang surat balasan yang ku harapkan, hingga di suatu malam farid memberikan surat yang sudah di titipkan padanya. Ku buka lalu ku baca, surat itu berisi jawaban atas perasaan yang sudah ku ungkapkan, dan balasanya sebuah lirik lagu dari group band SHE yang mengatakan “No No No Tunggu Dulu, Cinta Jangan Buru-buru”, itulah jawaban yang aku terima.
Ira ingin kita menjalani persahabatan dulu, tidak ingin terlalu terburu-buru untuk menjalin hubungan, aku pun menerima permintaanya. Kelas dua pun usai dan kami naik tingkat menuju kelas akhir, yang akan dipersiapkan untuk Ujian Nasional.
Suatu ketika hari dimana ku tak bisa melupakanya, seorang anak laki-laki datang kepadaku, dengan serius mengatakan, dia meminta izin kepadaku untuk menjadi pacar dari Ira, suatu pembicaraan yang membuatku sedikit gusar tidak tahu apa maksud Ira melakukan semua ini. tanpa pikir panjang aku pun mengizinkanya dengan syarat Ira juga mau menerimanya.
Itulah saat dimana aku tidak bisa berfikir secara nalar, hanya emosi yang meluap kenapa sampai Ira melakukan semua ini. bertepatan setelah UNAS hanya tinggal menunggu ujian akhir sekolah saja, tak sampai ku berfikir panjang, aku hanya ingin pulang untuk menenangkan fikiran, hingga akhirnya benar-benar kulakukan, dengan bantuan temanku aku berhasil kabur dari pondok, melewati jendela tempat semua anak biasa untuk kabur.         
Sampai dirumah orang tua ku bertanya kenapa aku pulang, dan aku menjawabnya dengan berbagai alasan, merenung dan terus memikirkan kenapa Ira bisa melakukan semua ini, ketika aku menyatakan perasaan ku dia hanya ingin jadi sahabatku, tapi orang lain yang menyatakan dia menerimanya, keputusan yang aku tak tahu alasanya, hingga kami pun lulus dari situ, membuat kami semakin tidak bisa bertemu karena tidak melanjutkan di sekolah yang sama.
Ira datang dengan menepuk punggungku, membangunkanku dari lamunan akan ingatan masa-masa madrasah tsanawiyah yang sempat terlintas, sudah begitu lama terlewat tapi masih tetap membekas, dia duduk disampingku, hanya diam tanpa kata, hingga ku coba untuk memulai percakapan denganya, dan pada akhirnya ku coba untuk menanyakan alasan dari kputusan yang pernah di ambilnya, sedikit menarik nafas dia pun menjelaskanya.
Kata maaf mengawali ceritanya, meminta maaf karena dia pernah mencintaiku, tapi tak pernah terucap olehnya akan balasan dari pernyataan perasaanku, Ira sudah mencintaiku dari pertama ku menulis surat untuk membalas suratnya, sejak saat itu dia merasa aku selalu mengisi hari-harinya, membuatnya bisa tersenyum bahagia, walaupun hanya sepucuk surat lipat komunikasi kita.
Kembali dia meminta maaf, alasan dia tidak menerima ku karena dia akan di jodohkan oleh orang tuanya, dijodohkan dengan seseorang yang meminta izin kepadaku untuk memilikinya, Ira menyuruhnya karena dia ingin aku mengatakan Ira adalah miliku yang nantinya bisa membatalkan perjodohanya dengan orang itu, tapi apa daya. Aku tak tahu apa maksudnya karena Ira tidak jujur kepadaku, hingga seperti inilah akhirnya.
Selesai bercerita Ira pun menangis dalam pelukanku, karena dia tahu aku sudah menjadi milik orang lain, dan dia pun tidak bisa menjadi miliku. Dinginya malam Gunung Bromo menenangkanya dalam pelukanku, kuputuskan untuk mengajaknya kembali ke camp tempat kita berkumpul, karena aku tak mau timbul kesan buruk di acara reuni Mts ku.     
Kami berkumpul melingkari api unggun, menghangatkan diri satu sama lain, hawa dingin Gunung Bromo tidak bisa menghentikan keakraban kami, bercanda, bercegkrama. Walaupun baru kenal, Syahrul dan beberapa teman dari UNEJ sudah bisa mengakrab dengan teman reuni Mts ku. Kesedihan hati yang ku rasakan, aku lampiaskan dengan memeluk erat kekasih hatiku Raisa.
Reuni ku kali ini ku akhiri dengan menunggu matahari terbit di pananjakan, berdiri bersiap dengan pasangan kami masing-masing, bersama wisatawan lainya kami pun menghitung mundur hingga munculah kemegahan sang surya, ke indahan akan pencahayaan yang menyinari seluruh kawasan, membuat banyak orang berdecak kagum akan kebesaran sang tuhan, karena lukisan pelukis agung yang tak pernah tahu siapa gerangan.
Dari jauh ku lihat Ira bersama Rama kekasihnya, berciuman di bawah sinar sang surya, dalam hati ku berkata “inilah awal dimana bersama sang surya kebahagiaan akan menjadi milikmu selamanya, kau adalah mantan pengisi hatiku walaupun kau tak prnah jujur kepadaku hingga aku mengetahuinya, kau tetaplah Sahabat, Mantan Pengisi hatiku”. Ku peluk kembali Raisa dalam dinginya pagi bersama kehangatan sang surya menyinari.
Inilah perpisahan termanis dan terindah di bawah sang surya sebagai saksi, akan pertanyaan yang akhirnya terjawabkan setelah sekian lama, walaupun tak bisa bersama, kebahagiaan tetaplah akhir dari segalanya.


Nama: Rhona Putra Ardianto
Alamat: Jl Riau, Gg Paving PPIM Ath Thoybah Sumbersari, Jember
No Tlp: 085736676941


Rabu, 06 Maret 2013

Badai, Jl Jawa



Awan mendung bergelayut menghiasi langit sore hari ini, mengantarkanku kembali menuju tempat tinggal ku selama aku mencari ilmu, sekembali dari mengambil surat dari orang tua ku yang di alamatkan kepada saudara ku di Jember, surat yang berisi beberapa berkas penting untuk pengajuan beasiswa.
Surat aku jepitkan pada sepeda motor, sepulang dari rumah saudara ku, di iringi rintik gerimis ringan, ku pacu sepeda motor. Sampai di pondok adzan maghrib sudah selesai berkumandang, aku parkir motor dan berlari menuju kamar, tidak untuk menyusul jama’ah di masjid tapi untuk berlari menuju kamar mandi membersihkan diri.


Membersihkan diri pun selesai, kulanjutkan  dengan menghadap Sang Pemilik Kehidupan. Sebelum menghadap, masuk pesan singkat dalam handphone dengan getaran ringan.
“Ar.. laper, ayo cari makan”. dalam jawa kental.
ayo..” jawabku singkat tanpa fikir panjang, walaupun sebenarnya aku sudah makan jamuan dari saudaraku. 
Selesai menghadap, ku ganti pakaian sholatku dengan pakaian biasa dan langsung berangkat mencari tempat makan.

Awan mendung semakin bergelayut menghawatirkan, akan hujan yang turun tidak sebentar, membuatku teringat rapat magang yang akan ku ikuti. Tapi ku ragu untuk bisa mengikutinya, membuatku berdoa agar hujan turun dengan segera.

Tanpa ada sedikit ingatan dengan surat penting yang masih terjepit di sepeda, Toni aku suruh untuk mengendarai sepada motorku. Pembicaraan kecil diatas sepeda hingga sampai di lesehan pinggiran Jl Jawa, tempat kami akan membeli makan, sepeda motor di parkirkan oleh Toni di bawah pohon beringin besar dekat dengan lesehan tempat kami makan.


Di lesehan situ ada beberapa pelayan muda pria yang melayani, selain itu ada aku dan toni sebagai pembeli, juga beberapa gerombol anak SMA yang sudah selesai makan, tidak lama setelah kami duduk, mereka sudah maju untuk membayar makanan lalu berkendara pergi.
  
Pelayanan di lesehan ini hampir membuat kami terkejut. Karena ketika duduk, kami diberi daftar menu makanan dan disuruh menulis sendiri di kertas kecil yang tadi di sodorkan bersama daftar menu. Memilih dan memilih, akhirnya kami memesan 1 lalapan tempe,  bersama 2 minuman aneh yang ingin kami rasakan, Es susu jeruk.


Tak lama setelah kami memesan datang tiga orang pembeli, dua perempuan dan satu orang laki-laki lalu duduk di samping kami, setelah itu datang lagi sepasang perempuan dan laki-laki duduk di paling pojok, setelah aku dan tiga orang di sampingku. yang dari gerak-geriknya semua orang pasti tau jika mereka berpacaran.


Pesanan datang bersamaan dengan gerimis yang mulai turun, perlahan tapi pasti hingga akhirnya menjadi hujan yang sangat tinggi volume airnya, sampai di situ aku benar-benar masih tidak ingat sama sekali dengan surat penting ku yang masih terjepit di sepeda motor.


Selesai toni makan, percakapan dan gurauan kecil mengiringi, dengan sesekali kami senyum-senyum sendiri, memandangi dan membaca pesan dari orang yang sedang tidak berada di dekat kami, hingga akhirnya terdiam dan terhenti karna hujan yang semakin deras bersama angin kencang mendampingi.


Hujan sederas-derasnya pun terjadi, dengan angin yang berhembus sangat kencang tidak seperti biasanya. Beberapa ranting dari pepohonan Jl Jawa berjatuhan, percikan-percikan air hujan pun sampai mendarat di tubuh, menambah hawa dingin yang terasa menyentuh tubuh. Sampai disitu aku sama sekali tidak teringat dengan surat penting yang terjepit di sepedaku.


Sekali lagi sms masuk, kali ini dari teman organisasiku yang menyuruhku tidak lupa untuk magang, –mengikuti samua kegiatan yang di adakan oleh organisasi sebagai tanda keseriusan jika ingin bergabung- lalu aku balas dengan menjelaskan situasi yang masih kurang mendukung tersebut.


Tidak berhenti sampai disitu, ketakutan dan ke khawatiran berlanjut dengan patahnya kayu bambu yang menjadi penyangga dari atap terpal, membuat kami semua panik dan dengan reflek berdiri memegangi patahan bambu yang hampir menimpa perempuan disampingku.


Patahan bambu membuat terpal semakin mudah dan cepat tertampung air hujan, hingga menggembung dan beberapa kali di dorong oleh pemilik lesehan agar tumpah, tetesan bocor dimana-mana, membuat kami sedikit duduk berjongkok karena tikar yang sudah mulai sedikit basah terkena air. 


Mungkin karena keadaan yang sudah mulai kurang nyaman, dan hujan yang tak kunjung reda, tiga orang yang duduk disampingku mulai membayar pesanannya tadi, lalu beranjak pergi menggunakan jas hujan yang dibawanya. Tinggalah aq, toni dan sepasang kekasih yang duduk tidak jauh dari tempat kami.

Bertambahlah penderitaan kami, ketika tiba-tiba tanpa di duga seluruh lampu di Jl Jawa mati, mungkin karena konslet atau apa yang jelas
aku tak tahu, tak sengaja ku melihat samar sepasang kekasih yang duduk disampingku, dengan mesrahnya berpelukan saling mendekatkan diri untuk saling menghangatkan, membuat aku dan toni iri karena seseorang yang sedang tidak berada bersama kami, di situasi seperti itu bukanlah kekasih atau pacar yang berada di dekat kami melainkan seorang teman.

Kar
ena sepasang kekasih itu, membuatku menceritakan melalui pesan kepada seseorang yang sedang tidak bersamaku, dia lalu menjawab dengan tertawa menyindir, memintaku untuk memeluk Toni supaya tidak iri melihat sepasang kekasih tersebut.

Lama setelah kami menunggu akhirnya hujan pun berhenti, berubah menjandi rintik-rintik hujan ringan yang tidak turun sederas tadi, lalu kami memutuskan untuk langsung kembali ke pondok dan tidak jadi mengikuti magang karena jam yang sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam, selain itu juga karena beberapa teman magang yang juga tidak bisa datang untuk magang.


Setelah membayar makanan yang tadi kami pesan, kami pun menuju ke parkiran mengambil sepeda motor dan bergegas pulang, itulah saat dimana aku teringat dengan surat penting yang masih terjepit di sepeda motor karena aku melihatnya, dengan bentuk yang sudah benar-benar basah dan tidak utuh lagi, juga disana-sini kulit amplopnya sudah terkelupas.


Dengan sedikit geram heran, berkali-kali menyebut, menyumpah hingga tak tau lagi kata-kata apa yang keluar dari mulutku, ku ambil surat penting itu lalu ku lemparkan ke dalam jok –bagasi- sepeda, lalu kami pulang dengan Toni tetap sebagi joki, sepanjang perjalanan kembali fikiranku tidak bisa tenang dan terus berputar, dari orang tua, beasiswa, surat-surat untuk kelengkapan beasiswa, hingga pada kesimpulan akhir, aku tidak bisa mengajukan beasiswa.