Kamis, 23 Mei 2024

Buku Cerita Baru di Tahun 2024


Tiba-tiba dia berkata...
"Buku yang aku tulis kisahnya pada januari 2024 dengan terpaksa harus segera aku sudahi. Sudah tidak ada tokoh yang bermain di dalamnya. Tokoh pada cerita telah bermanuver membuat cerita baru dengan kisah yang lain. Semakin meneruskan bukunya, hanya akan memunculkan hampa. Tidak ada lagi kisah cerita melalui rasa yang di tulis dengan indah. Hanya pengulangan kegiatan dari si tokoh dalam menjalani hidup saja."

Sepertinya harapan bahwa buku itu bisa berumur panjang pun pupus. Sebab buku tutup tepat saat hari lahir penulis. Tidak ada yang menyangka, pun penulis juga tidak mengira. Alur kisah tersebut harus disudahi. Karena bukan hal mudah menyusun penutup cerita pada kisah yang belum siap untuk di akhiri.

Namun, keadaan berkata lain. Jika sudah berani memetik indahnya bunga mawar, harus siap pula dengan durinya yang berada pada tangkai. Entah akan tertusuk, ataupun tergores. Sebab sakit adalah bagian dalam menikmati keindahan pada bunga mawar tersebut. 

Penulis berkata dia sudah terlalu berat untuk melanjutkan kisah. Meski, usia cerita di dalam buku tersebut masih terhitung muda. Ala-ala tipikal pacaran masa muda yang biasa orang kenal dengan sebutan cinta monyet. Apa yang dia sampaikan benar adanya. Terlihat dari beberapa kali dia memegang kepala. Saat kehilangan paragraf pada kisahnya.

Lucu menurutku. Tapi air mukanya tidak tampak harus ada yang ditertawakan. Sampai ketika mata kita beradu pandang. Suwung. Aku melihat kekosongan pada matanya. Ingin sekali menghiburnya, akan tetapi terlihat bukan itu yang sedang dia butuh. Beberapa kali pada buku tersebut dia mencoret-coret kasar halamannya. Sesekali membantingnya. Hingga menghempaskannya lalu dia ambil kembali berusaha menyelesaikan penutup dari ceritanya.

Ingin aku usik untuk mengalihkan fokusnya. Berusaha untuk menghibur dari apa yang sudah membuatnya penat. Ingin kutanya pula perihal apa yang membuatnya begitu berat. Mungkin, dengan berbicara denganku dia bisa berdiskusi ihwal kebingungan atas kisahnya. Tapi, aku juga tidak bisa menjamin, apakah aku bisa membantunya guna memahami permasalahannya. Bagaimana jika tidak? Malah hanya merepotkannya saja. 

"Aku bingung bagaimana menutupnya. Tokoh utama sudah terlalu sakit menghadapi pasangannya. Dia sudah terlalu sering menelan pahit dan kekecewaannya. Sebab terlalu banyak mengalah atas apa yang tak seharusnya dia merasa perlu untuk mengalah. Dia berusaha tegas, tapi terlalu takut menyakiti pasangannya."

"Pasangannya terlalu naif, terlalu anjing jika aku bisa mengatakannya. Entah mana yang benar. Semua kesalahannya tak merasa di akui. Dia merasa benar atas apa yang dilakukannya. Tanpa merasa salah telah mengecewakan pasangannya. Baginya, tujuannya hanyalan mencari aman atas dirinya dan atas apa yang dia rasa." 

Penulis tiba-tiba berteriak tanpa arah. Menceracau bagaimana dia bisa memulai kisah seberantakan itu. Mengenai tipikal sifat manusia yang mungkin juga benar pernah dirasakan para manusia. 

Melalui apa yang sekilas aku dengar. Penulis tampak sudah memihak kepada salah satu tokoh. Sehingga apa yang dirasakan tokoh utama, seakan dia rasakan juga. Ingin ku membalas teriakannya. Namun, tetap aku bergeming sembari meneguk kopi. Meski ada rasa ingin untuk menghardiknya. 

"Kini semua telah usai. Selamat kepada tokoh utama. Engkau telah berani mengambil sikap atas pesakitan yang telah dirasakan. Meski harus menelan pahit tiada lagi kisah asmara bersama pasangannya."

"Melalui kenangan tokoh utama akan mencoba untuk menyembuhkan diri. Memulihkan rasa. Menetralkan perasaan yang sudah kacau balau dirasakannya. Segala benda menjadi saksi akan apa yang harus dia kenang. Spion, musik, pendakian, suara, nyanyian, helm berstiker one piece, jarak jauh dalam pertemuan. Hingga tersirat wajah manis pada pertemuan terakhir." 

Dia berkata padaku, "Kisah ini telah usai kawan. Sepertinya aku tidak akan lagi menulis tentang kisah seperti ini lagi. Cukup aku menelan pahit atas apa yang aku tulis. Pada nasib setiap tokoh yang harus merasakan kekecewaan. Melalui alur yang sebab diriku dia menjadi sehancur ini."

"Akan tetapi, aku ingin pada cerita selanjutnya, tokoh ini bisa merasakan kehidupan seperti yang dia harapkan. Merasakan kebahagiaan kepada orang yang dia pilih untuk halalkan. Karena harus melalui perjalanan ini dia bisa mendapatkan pelajaran. Meski itu benar-benar menyakitkan."

Selanjutnya, aku hanya berkata datar menanggapi. "Semoga, dia tidak mati terlebih dahulu sebelum merasakan itu." Sembari berjalan menuju pintu rumahnya. Lalu pamit untuk pulang.[]