Jumat, 13 November 2020

Sepatu Bapak

Hai Yah.. 
Ternyata aneh rasanya kalo panggil dengan sebutan Ayah. Itu sebutan adek padamu, sedangkan aku memanggilmu dengan sebutan Bapak. 

Sebetulnya aku enggan menulis ini. Hanya saja, tampaknya tahun ini banyak bersliweran postingan ucapan selamat kepada sosok Ayah. 'Selamat Hari Ayah' beberapa story Whatsapp bertuliskan seperti itu. Hal tersebut, membuatku ingat kepingan memori di tahun-tahun yang telah lewat. 

"Kapan kuliahmu selesai?"

Pertanyaan itu masih sering terlintas. Tepatnya pada bulan september, satu bulan sebelum bulan kelahiranmu merangkap bulan kepergianmu. Seperti biasa, aku juga hanya bisa berkilah menjawab tanyamu.  

''Sebentar lagi".

Memori lain hadir, kau begitu mengkhawatirkanku. Sebab mengambil jurusan bahasa, kau takut aku kesulitan mencari kerja. Begitulah yang ibu sampaikan. Bahasa sayang yang tak pernah langsung kau tunjukan padaku, melainkan melalui perantara ibu.

Sialnya kali ini kekhawatiranmu terbukti benar adanya. Pekerjaanku selalu di luar ranah jurusan. Sempat 3 bulan menganggur setelah kelulusan. Lalu bertambah setahun menganggur setelah keluar dari pekerjaan pertama. Syukurnya kali ini bisa bekerja, tapi masih saja tetap di luar ranah bahasa.

Tak ingin kalah, memori lain berebut masuk. Kekhawatiranmu kau ceritakan pada adikmu. Ia bercerita padaku kala kau sudah tiada. Kali ini kau merasa gagal, sempat tiga bulan tidak bisa mentransfer uang bulanan. Membuatku memutuskan untuk bekerja di cafe mencari tambahan. 

Apakah aku sudah makan, bagaimana aku bisa jajan, takut aku memiliki banyak hutang, hingga ketakutan lain yang terus kau khawatirkan. Beruntung, adikmu pandai meredam apa yang kau takutkan.

Kepingan memori berikutnya muncul. Aku berharap kehadiranmu pada acara wisudaku. Berharap kau bisa mengajak ibu berkeliling kota kelahiranmu, sembari mengingat masa-masa pacaran bersama ibu. Berharap kau bisa bangga melihatku, anakmu yang kau damba, bisa lulus menjadi seorang sarjana. Berharap kau hadir, memenuhi undangan untuk mengisi kursi perwakilan orang tua. Lalu menangis saat namaku disebut untuk menerima ijasah. 

Aku benar-benar berharap kau bisa hadir. Membuatmu tak malu dengan penampilanmu, meski seringkali kau merasa minder, tidak seperti mereka dengan setelan jas atau pakaian mewah. Benar-benar ingin ku banggakan sosokmu, seorang pedagang ikan yang sanggup mensarjanakan anaknya, bahkan bukan lewat jalur beasiswa. 

Apalah mau dikata. Kau lebih dulu dipanggil oleh Sang Kuasa. Kursimu kosong tanpa isi, undangan untukmu tetap aku simpan dengan rapi. 

Kepingan terakhir muncul. Sampai akhir hayat, pernah kau ucap dan sampaikan pada ibu. Namun, hal itu tak kunjung terwujud. 

Kau ingin membelikanku sepatu, tepatnya sepatu untuk acara wisudaku. 

Terakhir aku pulang adalah saat libur panjang lebaran. Memang saat itu sepatu yang aku bawa untuk pulang adalah milik teman. Sepatu bekas, ada beberapa jahitan, tapi masih layak pakai. Sempat kau bertanya, aku pun jawab sekenanya, bahwa sepatuku hilang entah kemana, sebab memang sudah lubang di beberapa sudutnya. Kau hanya diam tanpa respon. 

Memang saat itu aku sama sekali tidak butuh sepatu. Perkuliahan sudah habis, bimbingan skripsi pun cukup dengan meminjam teman hanya untuk datang ke kampus. Seringnya memang begitu. Semua barang yang aku miliki, rata-rata adalah hasil pemberian. Sebab aku tipikal orang yang malas beli barang, jika barang yang lama masih bisa digunakan. 

Mengenakan celana bolong di bagian dengkul pernah aku alami. Dompet, belum pernah ganti sejak zaman SMA. Jaket, kalo belum sampai hilang ya ndak beli. Sepatu, kalo belum lubang sampai ndak bisa dijahit ya ndak beli, Kemeja, kaos, dan barang-barang lain. Sungguh jika bukan karena kau suruh, atau ibu yang mengajak ku, aku tak pernah mau untuk membeli barang jenis apapun itu. 

Sampai saat kau sudah pergi, sepatu juga tak kunjung terbeli. Aku tak tahu menahu, jika itu adalah keinginan terakhirmu. Sampai hari ke 40, ibu tak pernah menyampaikan apapun kepada ku. Hingga aku kembali ke perantauan, menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan. Sedangkan ibu di rumah, melakukan usaha keras menjadi pengganti mu sebagai kepala keluarga. 

Suatu ketika ibu menelepon. Suaranya berat, sesenggukan entah gerangan apa yang sudah terjadi. Aku diam bergeming, dia lalu bercerita. 

Siang hari matahari sangat terik. Ibu sedang istirahat merebahkan badan. Ia berada di teras rumah, sembari berjualan aneka gorengan, es sinom dan es kelapa muda. Memang begitulah salah satu bentuk usaha ibu, untuk terus memutar perekonomian keluarga. Tanpa sadar, lelah membuatnya lelap.

Tidak begitu lama, ibu terbangun. Menurutnya, ia mendengar suara mu. Meminta ibu untuk segera membelikan sepatu untuk ku. Mengasihaniku sebab tidak memiliki sepatu. Mengkhawatirkan ku di ejek teman-teman, sebab menggunakan sepatu yang tak layak pakai. Sejenak mendengar cerita ibu, membuatku tak bersuara. Aku heran, sampai tiada pun kenapa masih saja kau mengkhawatirkanku. Sedangkan aku, sebait fatihah atau do'a pun masih sering terlupa untuk ditujukan kepadamu. 

Selanjutnya ibu ingin mengirimkan tambahan uang, agar aku bisa membeli sepatu. Tapi aku menolaknya, dan berkata sudah memiliki simpanan untuk itu, lalu menenangkan ibu agar tidak terlalu khawatir memikirkanku. Padahal sejatinya juga tidak baik-baik saja, bahkan untuk mendaftar wisuda aku harus meminjam uang kepada Yayan temanku. Sialnya sampai saat ini juga belum bisa terlunasi.

Aku tidak terlalu memikirkan sepatu, sebab sudah ada rencana untuk meminjam kepada beberapa teman. Sepatu Pantovel, celana kain hitam, kemeja putih lengan panjang, dan juga jas yang dilengkapi dasi. Semua barang itu sudah aku list, mau meminjam kemana dan kepada siapa. Dari ujung rambut sampai kaki, hanya kaos kaki satu-satunya barang yang aku tidak pinjam. 

Tidak begitu lama apa yang tak pernah terduga pun terjadi. Budhe (kakak dari bapak ku) memberikan beberapa lembar uang pensiunan suaminya, lalu memaksaku untuk pergi mencari sepatu. Beberapa kali aku sudah menolaknya, tapi dia terus memaksaku. Hingga terbelilah sepatu pantovel pertama ku. 

Ujian Skripsiku telah berlalu. Yudisium berada di depan mata, undangan orang tua juga telah berada di genggaman ku. Banyak diantara para peserta wisuda merasa bahagia, bisa memberikan undangan untuk orang tuanya hadir dan menyaksikan anaknya di wisuda. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum masam. Ikut merasa bahagia melihat teman-teman, sedangkan undangan orang tua milik ku masih tersimpan rapi di dalam lemari.

Acara wisuda berlangsung sangat khidmat. Nyanyian mars atau hymne universitas melepas kelulusanku, dimana sebelumnya juga menyambut kedatangan ku sebagai mahasiswa baru. Prosesi wisuda telah usai. Banyak diantara para peserta wisuda terlihat bingung menemukan orang tua mereka. Tak sedikit juga yang sudah bertemu. 

Ada banyak tangis dan tawa pada sore itu. Para orang tua memeluk bangga anak mereka, Mengelu-elukan gelar kesarjanaan mereka, Berfoto-foto ria hingga memberikan berbagai kado dan bunga kepada anaknya yang telah di wisuda. Sedangkan aku masih terdiam duduk di kursi, memperhatikan orang-orang lalu beranjak menemui ibu di tempat kami sudah berjanji untuk bertemu. 

Sialnya aku melihatmu, duduk tersenyum di barisan ujung kursi tempat orang tua hadir. Kau mengenakan kopyah hitam, dengan batik berlengan panjang, juga celana kain kesukaanmu. Sandalmu juga tak begitu bagus, sebab memang itu sandal favoritmu. Aku berdiri mematung, kau masih saja terus tersenyum. Seketika itu aku rindu kau peluk, lalu mendapatkan ucapan selamat darimu. Ingin sekali aku letakan topi wisuda di kepalamu, lalu berbisik lirih..

"Maternuwun pak, pendidikanmu memang tidak tinggi, tapi kau bisa menyekolahkan aku hingga perguruan tinggi, maternuwun."

Selamat hari ayah, bahkan aku sudah hampir lupa ada hari ayah selain hari ibu. Sudah begitu lama pak, maafkan anakmu ini jika inginmu masih belum bisa aku penuhi. Mungkin yang lain masih bisa bertegur sapa mengucapkan selamat hari ayah, apalah aku yang hanya bisa mengirimkanmu sebait fatihah. 

Alfatihah...

















P.S : Selamat membaca, tapi tolong setelah itu tak perlu sampai mengucap bela sungkawa, atau mengasihani, atau menyemangati. Aku sudah baik-baik saja, tak usah khawatir. Tulisan lain tidak aku rekom untuk dibaca, sebab masih sangat tak beraturan. Terima kasih sudah berkunjung, sehat selalu, dan jangan lupa untuk berwelas asih kepada sesama makhluk.