Diam kusendiri melamunkan
segala hal yang sudah terjadi tentang kisah-kasih yang membuatku selalu merasa tidak
sendiri, kisah cinta dimana aku
merasakan itu untuk yang pertama kali di usiaku yang mungkin kata orang masih dini, tapi apa daya jika cinta sudah datang
tidak ada yang tidak mungkin terjadi.
Kisah ini adalah kisah
dimana dua anak manusia yang sedang menimba ilmu di sebuah asrama atau lebih
dikenal dengan pondok pesantren terjalin-jalinan
kasih dari mata turun ke hati, melalui lipatan kertas mereka berkomunikasi.
Hari ini adalah hari dimana
aku di antarkan kedua orang tua ku untuk mengikuti MOS disekolah baru yang akan
aku masuki, sebenarnya tidak hanya sekolah
tapi juga sekaligus pondok pesantren tempat dimana aku akan belajar dan juga
tinggal, itu keputusan yang aku
ambil setelah aku
lulus dari MI (Madrasah Ibtidaiyah).
Sampai di pondok aku melihat pemandangan yang sangat tidak
biasa, banyak sekali wali murid yang mengantarkan anaknya dengan membawa mobil
karena yang ikut mengantarkan tidak hanya satu atau dua orang akan tetapi satu rombongan,
begitu juga dengan barang bawaan yang mereka bawa, banyak diantara mereka yang
membawa kasur lipat, timba, hanger, lemari kecil, gayung dan beberapa
perlengkapan lainya.
Berbeda dengan ku, aku hanya
membawa satu timba ukuran sedang dengan hanger di dalamnya dan dua buah tas
berisi pakaian satu tas bepergian besar dan satu lagi tas sekolah berukuran
sedang yang nantinya akan aku
pakai untuk sekolah, suatu kewajaran yang aku sadari, bagiku apalah guna
membawa barang banyak jika sebagian besar dari barang itu aku masih belum
memerlukanya.
Dari belakang terdengar
suara seseorang memanggil orang tua ku yang dia ternyata teman satu sekolahku
Ali, tidak hanya satu sekolah tapi bisa dikatakan dia masih satu desa dengan aku, dia sosok yang tinggi besar dengan badan
yang tidak bisa dikatakan kurus dengan kulit sawo terlalu matang, dari belakangnya aku lihat orang tua dan saudara-saudarannya mengikuti, ternyata dia lebih mirip ibunya dengan badan yang juga
besar.
Percakapan pun terjadi
antara orang tuaku dengan orang tua Ali hingga akhirnya ibu kami mengantarkan
kami memasuki kamar sementara untuk meletakan barang-barang bawaan kami,
seperti yang sudah aku
duga ruangan 3X4 itu sudah hampir penuh sesak dengan barang-barang bawaan
-tidak ringan- yang dibawa oleh setiap santri.
Kami diantar menuju lapangan
parkir tempat mobil-mobil -bison- angkutan umum yang sudah disewa sekolah untuk
mengantarkan kami menuju tempat kegiatan. Sebelum berangkat aku cium tangan orang tuaku yang mungkin mulai
saat itu aku harus berlatih untuk bisa hidup jauh dari pantauan orangtuaku, dan
akhirnya aku pun berangkat dan disitulah kisahku bermula.
***
MOS pun selesai dan tahun
ajaran baru tiba, di Pondok, terbagi menjadi beberapa komplek, kami siswa atau
santri baru terbagi menjadi 5 kamar panggung –kamar dari kayu dengan model
panggung berukuran kurang dari 3X4- yang berisi 20-25 anak setiap kamar, yang letaknya
tidak jauh dari pintu gerbang Pondok Putra.
Karena Pondok Pesantren ini
adalah Pondok Pesantren modern, sistem pendidikan disini tidak hanya mengacu
kepada sistem pesantren saja, tetapi juga ada sekolah formal sebagai
pengetahuan intelektual kami selain pelajaran agama yang kami terima.
Aktivitas di Pondok ku
selalu di mulai pukul tiga pagi karena kami diwajibkan untuk mengikuti kegiatan
shalat malam dan pengajian kitab kuning bersama kyai kami, kegiatan itu selalu
dilakukan di aula serbaguna pondok putri yang terletak di lantai tiga, karena
pondok kami pada saat itu belum memiliki masjid, tidak mudah perjuangan untuk
bisa sampai di sana, dengan melewati santri putri yang bisa dibilang tidak
sedikit, karena itu wilayah mereka.
Pada pukul 03.30 kyai pun
tiba di aula besar dan langsung memimpin shalat malam tanpa
komando, akhirnya shalat malam pun selesai, kyai memberi
sedikit penjelasan tentang shalat malam yang baru saja kita lakukan beserta
do’a yang harus kami baca, membuat kami tidak bertanya-tanya lagi tentang apa
itu shalat malam.
Adzan shubuh pun berkumandang, setelah kyai menunjuk salah satu anak yang duduk
tidak jauh dari tempat beliau, lalu disambunglah dengan shalat shubuh.
Shalat shubuh selesai kami
lakukan, dari luar nampak tiga orang santri sedang mengangkat kursi memasuki
aula, kursi diletakan di perbatasan sket antara santri putri dan putra sebagai
tempat duduk kyai lalu pengajian pun di mulai.
Kyai memimpin membaca kitab
dengan di ikuti oleh kami semua, walaupun sebenarnya aku tak tahu bagaimana
cara membacanya jika tidak di tuntun oleh kyai, berbeda dengan farid, dia
nampak sangat faham dan giat membaca kitab tadi, di berinya kharakat dan
sedikit penjelasan ketika kyai sedang menjelaskan, dari latar belakang yang aku
ketahui Farid memang terdidik di lingkungan yang kedua orang tuanya pernah
mondok, jadi pelajaran dan lingkungan pondok tidak terasa asing baginya.
Dari sudut ruangan yang aku ketahui, ada beberapa ustadz yang sedang
berdiri seperti mengawasi kami yang sedang mengaji, dengan tangan bersilang
kebelakang dan berjalan berpindah mereka melakukan tugasnya. Tak terasa mataku
terasa berat, memperhatikan kitab ngaji yang aku tak tahu bagaimana cara
membacanya, kutundukan kepala dan sedikit menghindar dari sorotan pengawasan dan
akhirnya aku pun terlelap.
Semua itu percuma saja
karena akhirnya pun aku ketahuan juga, aku dibangunkan dari tidur ku, di catatnya namaku dalam secarik kertas kecil yang
dibawanya berlalu melewatiku, desas desis bisikan terdengar di telingaku, akan
hukuman atau apalah yang sedang menungguku di ujung pengajian ini.
setelah kejadian barusan membuatku sulit sekali untuk memejamkan mata lagi
hingga pengajian pun selesai, ditutupnya pengajian itu dengan do’a lalu kyai
pamit meninggalkan tempatnya dengan memberi pengummuman, kami tidak boleh bubar
sebelum di bubarkan oleh para ustadz yang ada disitu, dengan memegang pengeras
suara dia memberikan pengumumanya.
“bagi yang namanya terpanggil tidak
diperbolehkan kembali”.
Segera satu per satu nama
disebutkan, tidak memandang santri lama ataupun baru yang terpanggil tetap
berada di tempat, hingga sampai pada nama ku yang terpanggil, aku baru menyadari ini adalah hukuman untuk
santri-santri yang tidur saat pengajian berlangsung.
Aula pun jadi lumayan
kosong, tinggalah santri-santri yang terpanggil untuk menjalani hukuman. Di
situ kami sedikit di beri pengertian tentang betapa pentingnya pengajian yang
kami ikuti, setelah itu dikeluarkanya sebuah tas plastik sedang yang berisi
setumpuk arang, anak-anak yang terkena hukuman dibariskan berjajar, lalu satu
persatu wajah kami di olesi arang hingga jikalau pun ada kaca mungkin aku
takkan mengenali siapa diriku.
Kami di biarkan kembali satu
persatu menuju pondok putra melewati banyak santri putri yang mulai sedang
melakukan aktivitasnya, dengan menahan sedikit malu dan mencoba untuk jadi
laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Aku
turuni tangga setelah usai giliranku untuk di lukis, aku coba untuk tenang dengan membiarkan tawa
tergelak disegala penjuru, sampai di tangga paling akhir aku berbelok, dari
arah yang sama, datang dengan berlari-lari kecil seorang gadis manis menutupi
wajahnya, menabrak ku hingga kami terlempar satu sama lain.
Dengan sendirinya kami
berusaha untuk bangun, di bukanya tangan yang sedari tadi menutupi wajahnya,
ternyata dia sedang menutupi wajahnya yang masi penuh dengan sabun cuci muka,
secara spontan ku tertawa dengan sedikit tertahan lalu dia pun pergi, mungkin
malu atau apa, tapi wajah itu membuatku tertawa jika ku mengingatnya.
Suara kyai terdengar nyaring
pada pengeras suara yang berada di pondok putra, memberitahukan semua siswa
untuk berkumpul di lapangan upacara di situ, satu-per-satu semua anak mulai
berkumpul di tempat itu, aku yang terlambat karena hukuman menempatkanku pada
barisan belakang yang membuatku hilang mood karena barisan itu.
Aku
pandangi setiap sudut barisan yang tidak lepas dari gurauan tiap siswa, dalam
bayanganku, barisan
yang berada di sampingku tiba-tiba tersibak dengan sendirinya dari sudut
barisan para siswi itu aku
lihat seseorang yang wajahnya tidak begitu asing bagiku seperti pernah bertemu tapi tidak tahu dimana, wajah yang
sempat mengalihkan perhatianku akan kebosanan saat itu.
Hanya beberapa saat ku
melihatnya dia juga balik melihatku, lalu tiba-tiba tersenyum tersipu malu dan
menghindar dari penglihatanku, setelah aku
ingat baru ku sadar dia adalah gadis manis dengan sabun muka yang sempat
menabraku di tangga pondok putri, kejadian itu hanya sebentar tapi sensasi
waktu yang kurasakan terasa begitu sangat lama hingga membuatku tertawa jika ku
mengingatnya.
Apel pagi pun selesai semua
siswa-siswi mulai memasuki kelas mereka masing-masing, ini adalah hari pertama
siswa-siswi baru untuk masuk sekolah, angkatanku terbagi menjadi lima kelas,
untuk tahun pertama kami memang tidak pernah bertemu dengan teman angkatan kami
yang berada di pondok putri.
Hari terus berganti, dengan
kegiatan sama yang setiap hari selalu kami lakukan, dengan rasa penasaran
semakin mendalam, akan siapa gadis bersabun yang pernah menabrakku, hingga
muncul keinginan untuk mencari tahu, lalu kuputuskan untuk melakukan itu.
Benar-benar kulakukan, kini
setiap apel pagi ku selalu berada pada barisan paling belakang, dengan berusaha
mencuri pandang ke barisan para siswi untuk mencari sosok gadis manis yang
pernah menabraku, saat itu pula aku tidak pernah berhasil untuk menemukanya,
beberapa kali ku ulangi tapi hasilnya tetap sama, aku tidak berhasil untuk
menemukanya.
Apel pagi selanjutnya, aku ambil sikap biasa untuk tidak berusaha
mencari-carinya, hingga tanpa kusadari beberapa temanku sedang membicarakan
seorang siswi dengan sedikit menunjuk-nunjuknya memberitahu kepada temanku yang
lainya, penasaran ku coba untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan dan
sedikit mengintip siapa gerangan yang mereka bicarakan.
Siswi itu bernama Ira
Sylviana dan mereka menunjuk pada siswi yang aku berusaha untuk mencari-cari
informasi tentangnya, dari pembicaraan yang aku curi dengar dia memiliki kakak
yang juga sedang bersekolah di sini, semua memberiku informasi lebih banyak
untuk melanjutkan penelusuranku lebih dalam tentang nona manis yang pernah
menabraku.
Hari-hari berikutnya aku
sudah mengantongi nama dan siapa saudara kandungnya, tinggal beberapa langkah
lagi agar aku bisa berkenalan denganya, penasaran yang semakin terbendung ini
memberanikan diriku untuk bertanya kepada seorang guru yang sudah lumayan dekat
denganku, dia biasa di panggil dengan Bu Ami, guru Matematika yang mengajar di
beberapa kelas angkatanku.
Ulangan harian matematika
baru saja di lakukan, selesai ujian ku beranikan diri untuk bertanya ke pada Bu
Ami tentang seseorang yang aku ingin ketahui, dengan sedikit malu aku beranikan
diri untuk bertanya kepada Bu Ami tentang Ira Sylviana.
Sisa jam terakhir ulangan
harian aku gunakan untuk berbicara empat mata dengan Bu Ami, beliau berbicara
panjang lebar mengenai Ira, beberapa yang lainya ikut mendengarkan pembicaraan
kami berdua hingga bel jam terakhir berbunyi.
Sejak saat itu, setiap kali
aku ada pelajaran matematika, Bu Ami selalu bilang aku dapat salam balik dari
Ira, entah itu benar atau bercanda aku tidak tahu, aku hanya menaggapinya
dengan senyum, suatu ketika Bu Ami memasuki kelas dengan tidak seperti
biasanya, tanpa ada salam yang disampikanya kepadaku beliau langsung memulai
pelajaranya, pada akhir pelajaran beliau memanggilku dan memberikan sepucuk
surat ungu.
“ini
ada titipan dari Ira…!!” di berikanya surat itu lalu beliau tersenyum sebelum
meninggalkan sekolahku.
Sekolah pun usai, segera aku memasuki kamar asrama, ku letakan tas,
tanpa berganti ku ambil sepucuk surat ungu kumasukan ke dalam saku, lalu
berlari mencari ruangan untuk menikmati surat ungu. Sampai ku di pojok ruangan
lantai tiga, sedikit memanjat, untuk duduk di jendela yang berada di lantai
tiga, ku ambil surat itu dari dalam saku, lalu membuka lipatanya hingga muncul
tulisan indah dengan tinta hitam, tersusun dalam pesan yang ingin disampaikanya.
Membaca surat dari Ira
membuatku salah tingkah, tertawa dan tersenyum sendiri melihat tutur katanya,
karena memang dia gadis manis dengan sabun muka yang pernah menabraku,
tulisanya sedikit manja hingga membuatku terlena akan kata-kata tidak bakunya.
Selesai membaca surat itu
aku langsung melipatnya dan kembali ke kamar asrama untuk makan siang,
sepanjang perbuatan yang aku lakukan, selalu dengan sendirinya ku tersenyum
tanpa alasan dan tanpa sebab karena setiap yang ku lakukan selalu membuatku
teringat kepadanya, teringat akan senyumnya, teringat akan suaranya dan
juga teringat akan semuanya.
Sejak saat itu kami pun jadi
akrab, berkenalan lewat Surat, karena memang hanya surat media kami untuk bisa
saling berkomunikasi satu sama lain, kini tiap malam setelah belajar, selalu
kugunakan waktu ku untuk menulis surat balasan kepadanya, dengan membayangkan
paras cantiknya, surat balasan pun selesai kubuat teruntuk kepadanya.
Hari-hari pun terlewati,
membuatku benar-benar semakin mengenalnya, meminta biodatanya, photonya,
mencari tahu tentang siapa dia, dan siapa keluarganya, hanya dengan sepucuk
surat lipatan, sudah merupakan komunikasi yang sangat berharga bagi kami yang
tidak ingin ketahuan karena melanggar perturan, sebuah kekuatan dari sepucuk
surat lipatan.
Singkat cerita akhirnya pun
kami naik di kelas dua Tsanawiyah (SMP), hubungan kami semakin dekat dengan di
dukung situasi dan kondisi, karena kelas dua Tsanawiyah kelas kami saling
berdekatan, sejak saat itu kami sudah tidak lagi berkirim surat melalui Bu Ami
lagi, akan tetapi berkirim surat oleh diri kami dengan sembunyi mencari waktu untuk
bisa selalu berjumpa lagi.
Sejauh yang sudah aku kenal
Ira adalah anak kedua dari keluarga dengan latar belakang agama yang kuat,
karena ayahnya adalah seorang penceramah yang sering di undang untuk mengisi
acara di Malasya dan beberapa negara lainya, dia terpaut satu tahun lebih tua
dari ku, saudara kandungnya hanya ada satu yang sedang bersekolah dan mondok di
tempat yang sama akan tetapi dia berada di kelas dua Aliyah (SMA).
Berbeda dengan adiknya yang
pendiam dan pemalu. Di pondok, kakaknya terkenal sangatlah nakal, karena
terlalu sering melanggar peraturan, pernah suatu ketika aku di panggilnya
karena dia tahu aku dekat dengan adiknya.
“Hei…
kamu yang namanya Ari, calon adik iparku?!”
“ya
aku Ari Mas.. Adik ipar? Maksudnya mas?”
Pembicaraan itu terjadi
dengan jawa kasar, di depan semua teman-temanya, dia –Gaffar- mengatakan aku adalah calon
adik iparnya, dan dia merestui dengan syarat aku harus mau melakukan apa yang
dia suruh, tapi semua itu ternyata hanya ujian mental yang dilakukanya kepadaku.
Jika di pondok kita
berkomunikasi dengan sepucuk surat lipatan, di rumah –waktu libur- dering sms
dan telephone tidak pernah berhenti, tidak peduli waktu pagi, siang, malam,
kami selalu berkomunikasi, entah apapun bisa menjadi bahan pembicaraan kami.
Kejadian konyol nan lucu pun
sering terjadi di antara kami, entah itu secara sengaja ataupun tidak di
sengaja di mulai ketika pertemuan pertama kami, hingga kejadian lucu lainya.
Ada saat dimana kami sedang ketemuan karena jam kosong yang kebetulan bersamaan
di kelas kami, tidak secara langsung, kami berbicara di dekat pintu, dengan
bersandar di tembok yang membatasi kami, hanya ketika akan berbicara, salah
satu dari kita menengok melewati pintu.
Tengokan pertama, kedua, dan
selanjutnya aku bisa berbicara denganya, hingga aku hampir ingin memegang
tanganya, akan tetapi aku malu untuk melakukanya, sekali lagi aku menengok
melewati pintu untuk pamit memasuki kelas, aku terkejut, bukanya Ira yang
berada disana ketika aku menengok ke dalam, sepasang kaki sedang berdiri di
tempat Ira duduk sedari tadi.
ketika ku lihat lebih detail
ke atas untuk memastikan, dia adalah Pak Pardi guru matematika ku sedang
berdiri menyandar tembok di tempat Ira duduk sebelumnya, malu bukan kepalang
akan apa yang ku lakukan, hanya tersenyum melihatnya lalu meminta maaf, dengan
sedikit berlari kecil ku tinggalkan tempat itu karna ku malu sudah kepergok
oleh guru ku.
Hari berikutnya Ira
mengenalkanku pada temanya Ifa yang mempunyai hobi yang sama dengan ku, suka
membaca komik naruto, hingga kami pun akrab juga sering berkirim surat. Saat
yang ku tunggu pun tiba, untuk menyatakan perasaanku kepada Ira, ku kirimi dia
surat seperti biasanya dengan isi yang berbeda, lantunan lirik lagu “Aku Jatuh
Cinta” pun mewakili perasaan ku.
Tiga hari lamanya tidak juga
datang surat balasan yang ku harapkan, hingga di suatu malam farid memberikan
surat yang sudah di titipkan padanya. Ku buka lalu ku baca, surat itu berisi
jawaban atas perasaan yang sudah ku ungkapkan, dan balasanya sebuah lirik lagu
dari group band SHE yang mengatakan “No No No Tunggu Dulu, Cinta Jangan
Buru-buru”, itulah jawaban yang aku terima.
Ira ingin kita menjalani
persahabatan dulu, tidak ingin terlalu terburu-buru untuk menjalin hubungan,
aku pun menerima permintaanya. Kelas dua pun usai dan kami naik tingkat menuju
kelas akhir, yang akan dipersiapkan untuk Ujian Nasional.
Suatu ketika hari dimana ku
tak bisa melupakanya, seorang anak laki-laki datang kepadaku, dengan serius
mengatakan, dia meminta izin kepadaku untuk menjadi pacar dari Ira, suatu
pembicaraan yang membuatku sedikit gusar tidak tahu apa maksud Ira melakukan
semua ini. tanpa pikir panjang aku pun mengizinkanya dengan syarat Ira juga mau
menerimanya.
Itulah saat dimana aku tidak
bisa berfikir secara nalar, hanya emosi yang meluap kenapa sampai Ira melakukan
semua ini. bertepatan setelah UNAS hanya tinggal menunggu ujian akhir sekolah
saja, tak sampai ku berfikir panjang, aku hanya ingin pulang untuk menenangkan
fikiran, hingga akhirnya benar-benar kulakukan, dengan bantuan temanku aku
berhasil kabur dari pondok, melewati jendela tempat semua anak biasa untuk
kabur.
Sampai dirumah orang tua ku
bertanya kenapa aku pulang, dan aku menjawabnya dengan berbagai alasan,
merenung dan terus memikirkan kenapa Ira bisa melakukan semua ini, ketika aku
menyatakan perasaan ku dia hanya ingin jadi sahabatku, tapi orang lain yang
menyatakan dia menerimanya, keputusan yang aku tak tahu alasanya, hingga kami
pun lulus dari situ, membuat kami semakin tidak bisa bertemu karena tidak
melanjutkan di sekolah yang sama.
Ira datang dengan menepuk
punggungku, membangunkanku dari lamunan akan ingatan masa-masa madrasah
tsanawiyah yang sempat terlintas, sudah begitu lama terlewat tapi masih tetap
membekas, dia duduk disampingku, hanya diam tanpa kata, hingga ku coba untuk
memulai percakapan denganya, dan pada akhirnya ku coba untuk menanyakan alasan
dari kputusan yang pernah di ambilnya, sedikit menarik nafas dia pun
menjelaskanya.
Kata maaf mengawali
ceritanya, meminta maaf karena dia pernah mencintaiku, tapi tak pernah terucap
olehnya akan balasan dari pernyataan perasaanku, Ira sudah mencintaiku dari
pertama ku menulis surat untuk membalas suratnya, sejak saat itu dia merasa aku
selalu mengisi hari-harinya, membuatnya bisa tersenyum bahagia, walaupun hanya
sepucuk surat lipat komunikasi kita.
Kembali dia meminta maaf,
alasan dia tidak menerima ku karena dia akan di jodohkan oleh orang tuanya,
dijodohkan dengan seseorang yang meminta izin kepadaku untuk memilikinya, Ira
menyuruhnya karena dia ingin aku mengatakan Ira adalah miliku yang nantinya
bisa membatalkan perjodohanya dengan orang itu, tapi apa daya. Aku tak tahu apa
maksudnya karena Ira tidak jujur kepadaku, hingga seperti inilah akhirnya.
Selesai bercerita Ira pun
menangis dalam pelukanku, karena dia tahu aku sudah menjadi milik orang lain,
dan dia pun tidak bisa menjadi miliku. Dinginya malam Gunung Bromo
menenangkanya dalam pelukanku, kuputuskan untuk mengajaknya kembali ke camp
tempat kita berkumpul, karena aku tak mau timbul kesan buruk di acara reuni Mts
ku.
Kami berkumpul melingkari
api unggun, menghangatkan diri satu sama lain, hawa dingin Gunung Bromo tidak
bisa menghentikan keakraban kami, bercanda, bercegkrama. Walaupun baru kenal,
Syahrul dan beberapa teman dari UNEJ sudah bisa mengakrab dengan teman reuni
Mts ku. Kesedihan hati yang ku rasakan, aku lampiaskan dengan memeluk erat
kekasih hatiku Raisa.
Reuni ku kali ini ku akhiri
dengan menunggu matahari terbit di pananjakan, berdiri bersiap dengan pasangan
kami masing-masing, bersama wisatawan lainya kami pun menghitung mundur hingga
munculah kemegahan sang surya, ke indahan akan pencahayaan yang menyinari
seluruh kawasan, membuat banyak orang berdecak kagum akan kebesaran sang tuhan,
karena lukisan pelukis agung yang tak pernah tahu siapa gerangan.
Dari jauh ku lihat Ira
bersama Rama kekasihnya, berciuman di bawah sinar sang surya, dalam hati ku
berkata “inilah awal dimana bersama sang surya kebahagiaan akan menjadi milikmu
selamanya, kau adalah mantan pengisi hatiku walaupun kau tak prnah jujur
kepadaku hingga aku mengetahuinya, kau tetaplah Sahabat, Mantan Pengisi
hatiku”. Ku peluk kembali Raisa dalam dinginya pagi bersama kehangatan sang
surya menyinari.
Inilah perpisahan termanis
dan terindah di bawah sang surya sebagai saksi, akan pertanyaan yang akhirnya
terjawabkan setelah sekian lama, walaupun tak bisa bersama, kebahagiaan
tetaplah akhir dari segalanya.
Nama:
Rhona Putra Ardianto
Alamat:
Jl Riau, Gg Paving PPIM Ath Thoybah Sumbersari, Jember
No
Tlp: 085736676941